Denpasar - Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) resmi disahkan dalam rapat paripurna DPR. Salah satu poin yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah hak cuti melahirkan selama enam bulan untuk ibu hamil.Aturan tentang hak cuti melahirkan enam bulan itu disambut oleh Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Bali. Berbeda halnya dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali yang menilai aturan itu akan mengganggu operasional perusahaan di bidang pariwisata.Wakil Ketua Pendidikan dan Pelatihan Pekerja DPD KSPSI Provinsi Bali I Gusti Ayu Ketut Budiasih mengungkapkan cuti melahirkan tiga bulan masih kurang bagi kesehatan seorang ibu. Menurutnya, disahkannya UU KIA dan memberikan kesempatan cuti enam bulan adalah keputusan tepat. ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT "Saya sangat setuju karena berarti negara hadir dan penuh perhatian dalam peningkatan kesejahteraan ibu dan anaknya," ucap Budiasih ketika dihubungi detikBali, Rabu (5/6/2024).Budiasih mengungkapkan kesempatan cuti lebih lama itu dapat memaksimalkan proses pemulihan kesehatan ibu seusai melahirkan. Menurutnya, seorang ibu juga mendapat kesempatan mengasuh bayinya selama enam bulan cuti.Dia lantas menyinggung aturan sebelumnya, yakni UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam aturan itu, ibu hamil berhak mendapatkan cuti satu setengah bulan sebelum melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan.Menurut Budiasih, periode cuti tiga bulan tidak cukup bagi perempuan yang melahirkan. Terlebih jika ibu dan anak yang dilahirkan mengalami kondisi tidak sehat. "Apabila enam bulan ini diterapkan, ini sangat manusiawi sekali," imbuhnya.Budiasih berharap pemerintah dapat segera mensosialisasikan UU KIA. Dengan begitu, dia berujar, para pengusaha dapat memahami dan mentaati UU tersebut.Sementara itu, Wakil Ketua PHRI Bali I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya mengakui UU KIA mengarah kepada kemanusiaan, terutama kesehatan pekerja perempuan. Namun, dia menilai aturan cuti enam bulan dapat menghambat operasional sektor pariwisata."Enam bulan kan hal yang tidak singkat dan sangat lama karena perkembangan situasi dan kondisi di operasional. Khususnya di pariwisata dan hotel, agak sulit untuk mengatur schedule dan akan mengganggu operasional itu sendiri," kata Rai.Rai mengatakan aturan tersebut seharusnya ditetapkan dengan melibatkan berbagai stakeholder. Selain menyerap aspirasi pekerja, ia menilai perspektif pengusaha juga harus diperhatikan."Harus ke sana caranya melihat, ke semua sisi. Jadi, tidak bisa melihat perspektif karyawan itu saja. Dari segala aspek harus dilakukan," ungkapnya.Rai mengakui aturan itu mungkin saja bisa dilakukan jika dilihat dari perspektif kemanusiaan. Sementara jika dilihat dari segi efisiensi dan efektivitas perusahaan, dia beranggapan aturan cuti enam bulan tergolong terlalu lama.Menurutnya, aturan itu bisa saja membuat perusahaan lebih banyak mencari karyawan laki-laki. Walhasil, perempuan akan kesulitan mendapatkan pekerjaan. "Ke depannya akan sulit bagi perempuan mencari pekerjaan kalau di perusahaan untuk operasional yang tidak bisa ditinggalkan selama enam bulan," pungkasnya. Simak Video "UU KIA Untuk Kesejahteraan Ibu & Anak" [Gambas:Video 20detik] (iws/iws)