SuaraSumut.id - DPR mengesahkan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) dalam rapat paripurna. Salah satu poin yang diatur dalam undang-undang itu adalah hak cuti melahirkan selama enam bulan untuk ibu hamil. Lantas, seperti apa respons dari buruh dan pengusaha di Sumatera Utara (Sumut) atas disahkannya UU KIA ini? Ketua DPD FSPMI Sumut Willy Agus Utomo menjelaskan secara gamblang dukungannya terhadap UU KIA tersebut "Kita mendukung UU ini karena itu merupakan perjuangan kaum buruh juga terhadap cuti buruh perempuan yang hamil dan melahirkan 6 bulan, kalau sebelumnya hanya 3 bulan saja," katanya kepada SuaraSumut.id, Kamis (6/6/2024). Willy mengatakan bahwa cuti melahirkan hingga 6 bulan menjadi tambahan waktu yang sangat dibutuhkan seorang ibu untuk menjamin kesehatan dan tumbuh kembang anaknya yang masih butuh ASI dan perawatan. Bukan hanya wanita, kaum buruh juga memperjuangkan cuti bapak atau suami buruh yang istrinya melahirkan anak. "Yang selama ini hanya cuti suami ketika istri melahirkan hanya dua hari saja, kita minta bisa sebulan atau bahkan lebih," ujarnya. Willy berharap agar penerapan UU KIA dapat dilaksanakan pengusaha, tidak hanya di atas kertas. "Pelaksanaanya juga harus diawasi oleh pemerintah secara ketat," ujarnya. Sementara itu, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumut Denny S Wardhana menyampaikan tidak menolak terkait cuti hamil mulai 3 hingga 6 bulan lamanya. Namun demikian, peraturan ini bakal memberatkan bagi pengusaha, termasuk yang bergerak di bidang perhotelan dan restoran. "Ya kalau untuk di bidang perhotelan khususnya, otomatis memberatkan karena akan menambah cost kita lagi," ungkapnya. "Kalau menurut pandangan kami, selama ini yang sudah dijalankan cutinya tiga bulan kan gitu, itu sudah berjalan. Dan kita gak ada protes," sambungnya. Denny mengatakan aturan cuti 6 bulan ini bakal menjadi beban bagi pengusaha, dan dikhawatirkan menjadi polemik baru yang merugikan pekerja. "Kan beda swasta dengan ASN. Kalau ASN ada aturannya sendiri. (UU KIA) akan menjadi beban baru bagi pengusaha itu sendiri," jelasnya. Oleh karena itu, Denny meminta kepada DPR agar mempertimbangkan kembali aturan ini cuti melahirkan hingga 6 bulan tersebut. "Bukan berarti kita menolak, tapi dipertimbangkan kembali. Ini cukup berat, apalagi kita baru recovery semenjak Covid-19," jelasnya. Lebih lanjut, Denny pun khawatir penerapan aturan ini malah menjadi polemik. "Dan dikhawatirkan akan timbul permasalahan lagi, yang dirugikan di pihak pekerja itu sendiri," tukasnya. Diketahui, rapat paripurna DPR menyetujui RUU KIA menjadi RUU inisiatif DPR. Dalam draf RUU tersebut mengatur mengenai perpanjangan masa cuti bagi ibu yang melahirkan hingga waktu istirahat bagi ibu yang keguguran. Cuti melahirkan dalam draf RUU KIA diusulkan paling sedikit enam bulan, yaitu diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf a yaitu "Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit enam bulan". Selain itu, pada draf RUU KIA juga mengatur terkait cuti bagi para suami yang mendampingi istri melahirkan seperti yang tertuang di Pasal 6, yaitu ayat (1) untuk menjamin pemenuhan hak ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, suami dan/atau keluarga wajib mendampingi. Ayat (2), suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapatkan hak cuti pendampingan, yakni terkait dengan istri yang melahirkan, paling lama empat puluh hari; atau keguguran paling lama tujuh hari. Kontributor : M. Aribowo