TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Rencana memberikan sanksi kepada wisatawan mancanegara (wisman) yang tak membayar pungutan wisman, dan menaikan pungutan dari 10 USD atau Rp150 ribu menjadi 50 Dolar atau Rp500 ribu perlu dikaji ulang. Pasalnya pengenaan pungutan dengan nominal Rp 150 itu pun dinilai belum maksimal. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, menilai jika semua itu terburu-buru. Bahkan PHRI menilai pungutan yang saat ini dijalankan juga belum maksimal. "Pungutan yang sekarang saja belum maksimal. Jadi kami di PHRI meminta agar dilakukan evaluasi kembali peningkatan pungutan itu," ujar Wakil Ketua PHRI Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya. Baca juga: Petani Kopi Kintamani Butuh Subsidi, Pemerintah Diminta Beri Bibit dan Pupuk Gratis Baca juga: Imigrasi Bekuk 103 WNA di Tabanan, Diduga Lakukan Kejahatan Siber Ilustrasi Uang - Rencana memberikan sanksi kepada wisatawan mancanegara (wisman) yang tak membayar pungutan wisman, dan menaikan pungutan dari 10 USD atau Rp150 ribu menjadi 50 Dolar atau Rp500 ribu perlu dikaji ulang. Pasalnya pengenaan pungutan dengan nominal Rp 150 itu pun dinilai belum maksimal. (Kompasiana) Pihaknya mengakui, jika tentu harus ada konsekuensi bagi wisman berdasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2023, terkait wisatawan yang datang ke Bali. Namun mengharapkan wisatawan yang berkualitas tidak seperti itu. "Kita sebelum melakukan sanksi itu, juga perlu membenahi, mereview daripada kerjasama dengan beberapa stakeholder. Sehingga pungutan yang sekarang saat ini dimaksimalkan. Kalau meningkatkan kita harus siap membenahi pariwisata kita, karena kita akan bersaing dengan negara-negara lain," jelasnya. Suryawijaya yang juga merupakan Ketua PHRI Badung menyebutkan, memaksimalkan pungutan yang dilakukan, artinya masih ada kendala teknis yang terjadi di lapangan. Seperti contohnya pemeriksaannya yang tidak ketat. Sehingga apabila sudah direview, maka bisa diperbaiki untuk memaksimalkan pemakaian aplikasi. "Bila perlu sebelum mereka sampai di Bali mereka usahakan sudah membayar. Ini perlu kerjasama dengan pemerintah baik dengan konjen di luar negeri baik dengan dubes. Termasuk di bandara terus diumumkan atau diingatkan mengenai hal itu," sambungnya. Oleh karenanya, diperlukan dulu introspeksi di dalam sebelum menerapkan sanski. Mengingat di Bali tidak hanya mencari wisatawan yang banyak duit, namun juga yang menengah harus dicari. "Wisatawan yang berkualitas maksudnya bukan berduit saja. Kalau berduit pasti nginap di hotel 5, nah bagaimana hotel-hotel yang kecil-kecil atau villa yang ada? itu pun yang berduit kita belum bisa pastikan kualitasnya," bebernya. Selaku pelaku pariwisata, pihaknya juga sangat menginginkan wisatawan yang berkualitas dan berduit. Namun juga harus memperhatikan fasilitas dan pelayanan yang ada saat ini. "Banyak yang harus kita benahi dulu, inprastuktur, penanganan sampah, kantong-kantong parkir, macet, kabel sembraut dan yang lainnya. Jangan hanya bisa menjual memelihara tidak bisa," ucapnya sembari mengatakan pariwisata Bali ini ibarat ayam bertelur emas, sehingga ayamnya harus kita janga agar mampu menghasilkan banyak telur. Lebih lanjut dikatakan, keberadaan sanksi ini pun menurutnya tak berpengaruh terhadap jumlah kunjungan wisman. Karena mereka pasti akan tetap datang meski dikenakan sanksi ringan. Ke depannya, diharapkan agar stakeholder, terutama di bandara ikut membantu menyukseskan pungutan wisman ini. Termasuk harus maksimal diusahakan tempat pembayaran yang strategis. (*)