Denpasar, DENPOST.id - Ribut-ribut soal kondisi Bali yang disebut overtourism atau kelebihan wisatawan, mendapat tanggapan Wakil Gubernur Bali periode 2018-2023, Cokorda Oka Arta Ardana Sukawati alias Cok Ace. Menurut dia, Bali sejatinya bukan kelebihan turis, namun ada penumpukan wisatawan di tempat-tempat tertentu, seperti di Penglipuran, Bangli, dan Nusa Penida, Klungkung. Selama ini, tambah Cok Ace, penyebaran wisatawan tidak merata, sehingga menimbulkan kesan Bali kelebihan daya tampung. Bisa jadi pula ada kelemahan infrastruktur, lantaran semua aktivitas dan konsentrasi wisata lebih banyak ada di Bali Selatan, sehingga kelihatan begitu padat dan dianggap kelebihan turis. Kondisi ini sempat menjadi sorotan di media sosial. Bahkan CNN International dan Channel News Asia atau CNA, menyebut Pulau Dewata adalah salah satu destinasi wisata dengan overtourism terburuk tahun 2023. Sedangkan CNA mengungkapkan bahwa situasi di Bali tidak lagi sesantai dan sebebas dulu karena kelebihan wisatawan, seperti di Bali Selatan. Cok Ace menyebut Bali sampai disebut overtourism akibat adanya sejumlah wisatawan yang tidak tertib, atau jalan raya yang macet. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI Bali ini, menambahkan bahwa di Pulau Dewata masih bisa terdeteksi tempat wisata, seperti di kampung-kampung. Bahkan di Klungkung, wisatawan sudah masuk ke desa-desa. Untuk mengatasi kesan overtourism, komponen pariwisata Bali telah mengadakan diskusi, termasuk membahas persoalan-persoalan apa saja yang terjadi di pulau ini. Begitu juga peraturan dan suprastruktur sudah cukup memadai dengan adanya undang-undang provinsi, undang-undang pemerintahan, adat maupun budaya. Semuanya sudah ada, tetapi kenapa tidak dapat berjalan sesuai yang dikehendaki? Inilah yang sekarang dibahas komponen pariwisata dan mereka sangat siap membantu desa adat maupun aparat lainnya. Saat ditanya apakah Bali mesti selektif dalam menerima kunjungan wisatawan, Cok Ace menyebut bahwa sejak dulu hal itu sudah dilakukan. Artinya, siapa yang berbuat tidak baik, maka akan kena sanksinya. Yang jelas, Bali tetap pada hakikatnya, yakni pariwisata berkualitas dan berkelanjutan.Ketika bicara mengenai pariwisata berkualitas, tambah Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Bali ini, berarti memberi kontribusi atau azas manfaat bagi masyarakat lokal. Cok Ace menyebut bahwa pariwisata berkualitas bukanlah identik dengan mahal. Hal itu karena Bali sudah punya segmen pasar wisata tertentu, seperti ada harga kamar termurah, yakni tiga ratus ribu rupiah. Dengan demikian hotel tak mungkin bakal menjual kamar senilai satu juta atau tiga juta rupiah kalau pasilitasnya hanya tiga ratus ribu rupiah. Jika nanti pariwisata Bali oversuplay, kata Cok Ace, di sanalah harus dibatasi dengan pasar-pasar tertentu. Bali juga harus banyak belajar dari daerah wisata lain. Dia mencontohkan di Banyuwangi, jelas di sana bahwa hotel di bawah bintang tiga dilarang dibangun oleh masyarakat setempat. Dengan demikian, harga-harga bakal terkendali alias tidak ada perang tarif. Tokoh Puri Ubud ini menambahkan jika berbicara mengenai pariwisata berkelanjutan, maka harus dimaknai sebagai pariwisata yang tidak merusak sumber daya Bali, seperti air, manusia, alam, dan budaya.