Fokus Jateng-BOYOLALI,- Persoalan sampah makanan masih menjadi masalah bersama. Bahkan di Boyolali, sampah pangan ini menempati posisi kedua sebesar 32,18 persen yang masuk ke temoat pembuangan akhir (TPA) Winong, Boyolali Kota. Sehingga muncul gagasan yang mengajak masyarakat untuk tidak membuang-buang makanan. “Memang sulit, kita sebaiknya memberi perhatian serius agar sampah dari makanan yang dikonsumsi dapat berkurang,” kata Kabid Konsumsi dan Ketahanan Pangan Dinas Keamanan Pangan (DKP) Boyolali, Nur Djamilah. Selasa 16 Juli 2024. Dia mengemukakan, ancaman akan terjadinya krisis pangan global bisa saja terjadi. Data dari World Food Programme (WFP) pada 2023 mengungkapkan terdapat lebih dari 345 juta masyarakat dunia yang bakal menghadapi kerawanan pangan. Kemudian, mengacu pada data Bappenas, Indonesia menjadi rangking pertama soal buang-buang makanan se Asia Tenggara. “Tapi menurut Global Food Hunger, Indonesia masuk peringkat tiga untuk kerawanan pangan se Asia Tenggara. Jadi ada kontradiksi antara membuang makanan dan kerawanan pangan. Sedangkan di Boyolali, komposisi sampah yang berasal dari makanan masih tinggi. Data DLH pada 2023 ada 32,18 persen sampah pangan dari total sampah,” jelasnya. Dia menilai perlunya memberi pemahaman kepada masyarakat terkait pemanfaatan pangan, sehingga tidak terjadi pemborosan, berujung pada meningkatnya angka food waste atau sampah makanan. Untuk itu pihaknya mengusung program Sobo Pawon Rendah Hati. Yakni konsep pencegahan pemborosan pangan yang dikolaborasikan dengan upaya pemberdayaan masyarakat di bidang pengolahan pangan lokal sehingga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan. Kerjasama yang baik dengan berbagai stakeholder merupakan kunci keberhasilan kegiatan ini. “Kami terus berupaya melalui edukasi dan pemberdayaan masyarakat agar mereka melakukan tindakan menghemat pangan. Diantaranya melalui kegiatan penyaluran ditingkat masyarakat yang sudah dijalankan dan menjadi kearifan lokal.” Dia mencontohkan, belum lama ini pihaknya menginisiasi pemberdayaan masyarakat di Desa Krasak, Kecamatan Teras. Selain mendampingi kelompok pengolahan pangan, pihaknya juga bekerja sama dengan perhimpunan hotel dan restoran Indonesia (PHRI) Boyolali. “Selama dua bulan ini akan mengirimkan sisa makanan berlebih dan dikirim ke kelompok Desa Krasak untuk dibuat kerupuk. Jadi meningkatkan nilai ekonominya. Sekaligus ini mengatasi pemborosan pangan, sekaligus meningkatkan nilai ekonomi masyarakat,” jelasnya. Dia menegaskan, alasan menyasar perhotelan, karena para pengusaha memiliki batasan. Jika melebihi waktu penyajian, maka makanan tidak boleh disajikan lagi kepada pengunjung, dan potensi dibuang. Sehingga pihaknya berinisiasi menampungnya untuk dijadikan olahan pangan kembali. “Setelah mengikuti pelatihan, mereka akan dapat mengaplikasikan dan mengimplementasikan kepada masyarakat luas. Harapannya, jika masyarakat dapat melakukan pengurangan atau bahkan tidak membuat sampah makanan, maka ini akan berkontribusi dalam upaya peningkatan ketersediaan pangan.” (**)