Kalsel Perlu Gencarkan Gerakan Sadar Wisata Halal. Foto/Ist BANJARMASIN – Bincang hangat soal peluang Kalimantan Selatan (Kalsel) Mengembangkan Ekonomi dengan Pariwisata Halal diakhiri dengan sejumlah rekomendasi antara lain menggalakkan Gerakan Sadar Wisata Halal untuk semua lapisan masyarakat. Kesimpulan Itu diungkapkan oleh Hilda Ansariah Sabri, Ketua Forum Dialog Pariwisata Halal (FDP) Halal, Sabtu (30/8/24) di Cafe 10.2, Handil Bakti, Banjarmasin bersama kalangan pentahelix, pemerintah, pelaku usaha hingga kalangan pers. Walikota Banjarmasin Ibnu Sina yang diwakili Fitriah, Sekretaris Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga Dinas Pariwisata Kota Banjarmasin mengatakan, Kalsel memiliki potensi wisata halal beragam dan Kota Banjarmasin telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) tentang Pariwisata Halal. Kalsel meraih dua kali berturut-turut penghargaan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) serta predikat Anugerah Syariah Republika 2022 (ASR 2022). Kalsel dinobatkan sebagai daerah dengan wisata halal terbaik. “Namun meski sudah dinobatkan jadi destinasi wisata halal, memang Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia ( PHRI) Kalsel masih harus bebenah melengkapi kamar dengan arah kiblat, fasilitas untuk sholat dan lainnya. Kami akui hal-hal mendasar ini memang baru dipenuhi sedikit hotel,” ungkap Fitri yang mewakili Walikota Banjarmasin, Ibnu Sina. Sementara itu Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata ( ASITA) Kalsel, Dewi Restina mengungkapkan masalah akses, sarana dan prasarana masih menjadi pekerjaan rumah Kalsel. Apalagi belum ada penerbangan internasional langsung ke Banjarmasin sebagai ibukota provinsi meski dari negara tetangga seperti Brunei, Malaysia dan Singapura. Obyek wisata Islami maupun yang mengandalkan keindahan alam banyak namun prasarana jalannya selain banyak rusak juga keamanan perjalanannya yang sempit, terjal perlu perhatian pemerintah daerahnya. Selain itu, edukasi sadar wisata di segala lapisan masyarakat memang dibutuhkan. Hadir sebagai MC dan moderator, Muhammad Risanta, wartawan senior yang juga perwakilan Transmedia Group Kalsel serta Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Provinsi Kalimantan Selatan, Sunarti Suwarno. Hadir pula undangan lainnya dari para pelaku pariwisata Kalsel anggota ASITA, Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) dan Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPIl Kalsel. “Ziarah makam maupun kegiatan haul ulama karismatik Abah Guru Sekumpul sudah lama menancapkan Kalsel sebagai destinasi ziarah masyhur. Tiga juta orang dari dalam dan luar negri bisa berkumpul di Martapura saat acara dan kami banyak memiliki festival untuk daya tarik dengan pengembangan Halal Tourism,” kata Risanta. Harus Leading Sementara Ketua FJPI Kalsel, Sunarti menyatakan pihaknya siap berkolaborasi dan bersinergi dengan berbagai pihak di Kalsel untuk pengembangan halal industri maupun halal tourism di bumi Banua ini. Sunarti dan tim PWI Kalsel yang baru saja menyelenggarakan Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) ke XIV Tahun 2024 yang diselenggarakan di Banjarmasin, Kalsel memberikan dana hibah bagi pengembangan pariwisata halal di Kalsel. “Kalau mau leading untuk wisata halal harus ada dukungan dana. Porwanas bisa terselenggara dengan komitmen dana jadi jangan hanya mengeksploitasi tanah dan kekayaan alam untuk perusahaan,” paparnya. “Wisata halal ini jika berkembang menggerakkan perekonomian seluruh negri karena multiplier effect pariwisata yang ada dan manfaatnya langsung pada masyarakat,” tegas Sunarti lagi. Menurut Hilda, Kalsel dengan slogan Wonderful Kalsel, the legend of Borneo ini memiliki peluang besar untuk pengembangan wisata halal apalagi potensi dan pengakuan sebagai destinasi wisata halal sudah lama disandangnya. “Jika bicara halal tourism maka ini adalah bagian dari industri halal yang mencakup keuangan Islam, pharmacy, food, kosmetik, modest fashion, Media dan Rekreasi serta Halal tourism. Jadi halal tourism bagian dari 7 sektor halal industry. Halal tourism terkait dengan praktik Islam yang dikenal sebagai kepatuhan terhadap halal,” ungkap Hilda. Negara-negara non Muslim selain sudah menjadi pemasok produk halal dunia juga rajin mempromosikan negara-negaranya sebagai tujuan wisata halal seperti Jepang, Taiwan, Hongkong, Thailand, Singapura, dan terbaru negara-negara Asean lainnya seperti Filipina, Kamboja dan Vietnam juga menjual Muslim Friendly Tourism. “RI jangan ikut-ikutan memasarkan paket wisata halal dengan sebutan Muslim Friendly karena definisinya merujuk pada penyediaan fasilitas dan layanan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan Muslim, namun tidak sepenuhnya mengikuti pedoman halal sesuai dengan kaidah agama Islam,” paparnya. “Tujuan utamanya adalah untuk membuat lingkungan yang lebih ramah dan nyaman bagi wisatawan muslim tanpa memastikan semua aspek benar-benar halal,” tegas Hilda lagi. Memang fasilitas seperti makanan halal, tempat ibadah, dan informasi tentang arah kiblat biasanya disediakan. Namun, tempat-tempat ini mungkin juga menawarkan opsi non-halal atau tidak memisahkan makanan halal dan non-halal dalam penyajiannya untuk tourism. Sebuah restoran mungkin menyediakan makanan halal tetapi juga menjual alkohol, atau hotel mungkin tidak sepenuhnya mematuhi standar syariah dalam operasionalnya. RI tinggal mengikuti Standards and Metrology Institute for Islamic Countries ( SMIIC ) yang dikeluarkann oleh OKI. Misalnya. “Indonesia juga dikenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia karena sekitar 87,5 % penduduknya beragama Islam jadi sebagai anggota Organisasi Kerjasama Islam ( OKI) sudah ada panduannya yaitu Halal Tourism Services ( HTS) dan gunakan nama Halal Tourism,” ungkap Hilda. Definisi Halal Tourism lebih fokus pada menyediakan semua aspek perjalanan yang sepenuhnya sesuai dengan hukum Islam, mencakup makanan, akomodasi, dan kegiatan yang semuanya harus mematuhi standar halal. Semua elemen perjalanan harus bebas dari unsur-unsur yang diharamkan menurut syariat Islam, tambah Hilda. Dalam Halal Tourism, semua fasilitas dan layanan, mulai dari makanan hingga akomodasi dan kegiatan, diatur agar sepenuhnya memenuhi standar halal. Ini termasuk makanan yang disiapkan dan disajikan dengan metode yang sesuai syariah. Hotel tidak menyediakan alkohol dan menyediakan fasilitas ibadah yang memad ai, serta kegiatan wisata yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Secara keseluruhan, perbedaan utama antara kedua konsep ini adalah tingkat kepatuhan terhadap pedoman halal. “Muslim Friendly Tourism memberikan fleksibilitas lebih besar dan fokus pada kenyamanan wisatawan Muslim secara umum, sementara Halal Tourism menekankan pada pemenuhan semua standar halal secara ketat dalam setiap aspek perjalanan “ Halal Tourism Services ( HTS) dalam konteks pariwisata halal merujuk pada layanan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi wisatawan Muslim jadi disebut extended service, hanya penambahan pelayanan dan bukan harus mengislamkan suatu destinasi seperti salah persepsi selama ini. “Bukan mengkotak-kotakan suatu destinasi untuk orang Muslim dan non-Muslim. Semua destinasi bisa dikunjungi tapi peserta wisata halal akan tetap melaksanakan ibadah dulu jika waktunya tiba dan makan di restoran bersertifikasi halal,” jelas Hilda. Halal Tourism Services ( HTS) adalah standarisasi persyaratan umum wisata halal yang bertujuan untuk memastikan bahwa produk dan layanan yang disediakan untuk wisatawan Muslim sesuai dengan aturan Islam. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah setelah memahami perbedaan Muslim Friendly dan Halal Tourism tinggal menentukan sikap apakah Kalsel mampu mengembangkan halal tourism untuk menggerakkan perekonomian wilayahnya?. Solusi tahap awal Banjarmasin dan Kalsel Perlu Galakkan Gerakan Sadar Wisata Halal tentunya. You Might Be Interested In