Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Krisis Air Bersih di Gili Trawangan Picu Respons Negatif Perbankan dan Wisatawan

KRISIS air bersih di tiga Gili yaitu Gili Trawangan, Gili Meno , dan Gili Air (Tramena) Kabupaten Lombok Utara  memicu sentimen negatif bagi berbagai kalangan, tidak saja wisatawan, perbankanpun menjadi wait and see. Karena itu, pemerintah didesak secepatnya menyelesaikan sengkarut air bersih di gili – gili ternama di Lombok ini. Salah satu pimpinan cabang perbankan di Mataram mempertanyakan bagaimana sikap pemerintah dalam penyelesaian ancaman krisis air bersih di Gili Trawangan khususnya. Menurut narasumber ini, ia sudah menyetujui pembiayaan kepada salah satu pengusaha di Gili Trawangan senilai Rp5 miliar. “Kreditnya sudah disetujui, tinggal cair. Tapi kantor pusatku minta hold dulu, karena soal krisis air bersih ini juga menjadi pertimbangan pusat. Gak dikasi cairkan, karena khawatir dampaknya, pengusaha tidak bisa bayar,” kata sumber yang enggan ditulis namanya ini. Karena itu, menurutnya, ancaman krisis air bersih di Gili Trawangan ini merembet ke sektor ikutan lainnya. Untuk itu, perlu solusi cepat dan tepat mengatasinya. Pengusaha hotel dan restoran di Kabupaten Lombok Utara dan Kota Mataram, Sabtu, 11 Oktober 2024 melakukan pertemuan di Mataram. Para pihak ini diantaranya Ketua Asosiasi Hotel Gili, sekaligus Ketua Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) NTB Lalu Kusnawan, Sekretaris Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Lombok Utara Vicky Hanoy, GM Vyhana Gili Air sekaligus Excomm IHGMA/GHA) Lily McDonal. Hadir pula GM Ayome Suite Mataram sekaligus Excomm IHGMA NTB Dayu Apriawati, serta GM Hotel Prime Park (Excomm IHGMA NTB) Mukharom. Dalam kesempatan ini, Sekretaris PHRI Kabupaten Lombok Utara Vicky Hanoy mengemukakan, ancaman krisis air bersih di Gili Trawangan ini kian menyedot perhatian publik, terutama wisatawan. Sampai saat ini belum ada solusi yang konkret dari pemerintah daerah, terutama Pemda Kabupaten Lombok Utara.”Rapat-rapat terus, tapi tidak ada solusi. Yang dibutuhkan saat ini solusi konkret dan cepat,” katanya. Menurut Vicky, sejumlah pengusaha di Gili Tramena sudah menyiapkan opsi menutup investasi yang sudah dibangun sejak lama. Karena tidak adanya titik temu untuk menyelesaikan ancaman krisis air bersih ini. Sekitar 4.000 hingga 5.000 orang yang mata pencahariannya di Gili Tramena sudah terancam. Jika persoalan ini berlarut larut tak tak membuahkan solusi, ancaman PHK karyawan akan menjadi dampak buruknya. Vicky menambahkan, sebelum gempa, terdapat lebih dari 755 kegiatan usaha yang hidup di Gili Tramena. Jumlah tersebut menurun setengahnya karena gempa tahun 2018, kemudian disusul lagi bencana Covid – 19 yang kemudian menyisakan sekitar 400 kegiatan usaha. “Ancaman krisis air bersih ini seperti Covid jilid 2. Bisa tersisa 100 usaha, bahkan puluhan usaha yang bertahan,” katanya. Hal itu karena usaha property besar harus mengeluarkan biaya yang tidak kecil untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang diangkut oleh penyeberangan. “Bayangkan, sehari untuk beli air bersih saja bisa sampai Rp10 juta pengeluaran. Hotel yang besar bisa sampai Rp15 juta. Kalau biasanya untuk kebutuhan air bersih hotel sekitar Rp80 juta sampai Rp100 juta per bulan. Sekarang bisa besar sekali pembengkakannya,” ujarnya. Jika berbulan – bulan ancaman krisis air bersih di Gili Tramena berlangsung, pengusaha property sudah menyiapkan opsi menutup usahanya. Dari pada beroperasi dengan biaya yang sangat tinggi. Ancaman krisis air bersih di Gili Tramena ini juga menurutnya sudah menjadi topik di kalangan pengusaha pariwisata di Bali. Sebagaimana diketahui, wisatawan asing yang masuk ke Gili Tramena kebanyakan wisatawan yang datang langsung dari Bali menggunakan kapal cepat. “Sekarang travelnya di Bali minta jaminan soal air bersih ini, baru mau bawa wisatawan ke Gili,” ungkapnya. Karena persoalan air bersih ini, tingkat hunian hotel (okupansi) sudah turun sebesar 10 persen. Dan akan turun hingga 50 persen jika tidak ketemu penyelesaiannya dalam waktu cepat. “Kalau sudah wisatawan cancel pesanan, bisa bertahun tahun recoverynya untuk meyakinkan kembali wisatawan datang. Bayangkan besar efeknya kalau wisatawan sepi. Bakal seperti dulu lagi Gili Gili. Kami dari pengusaha ndak mau tahu soal distribusi air oleh PT ini PT itu. Kami hanya ingin tau air bersih itu disediakan negara,” demikian Vicky. Dayu Apriawati, GM Ayome Suite Mataram sekaligus Excomm IHGMA NTB juga menyebut,  hotel di Kota Mataram ikut terdampak persoalan air bersih di Gili Tramena. Menurutnya, tamu dari Belanda mempertanyakan persoalan ini. “Ada tamu saya dari Belanda, dia tanya, apakah tempat saya krisis air bersih. Dikiranya krisis air bersih ini terjadi se Lombok. Kita kena dampak juga,” tandasnya. Sementara itu, Lalu Kusnawan, Ketua Asosiasi Hotel Gili, sekaligus Ketua IHGMA NTB menyampaikan pemerintah telah berinvestasi sangat besar di Lombok, NTB untuk membangun infrastruktur pendukung sektor pariwisata. Salah satunya Sirkuit Mandalika yang nilainya triliunan. Investasi tersebut semata mata untuk terus mendorong sektor pariwisata NTB terus berkembang. “Gili Tramena ini menjadi destinasi wisatawan internasional. Jika ia terganggu karena persoalan air bersih, dan informasi dari wisatawan menyebar kemana mana. Efeknya ke Lombok, bahkan bisa Bali. Karena wisatawan asing dari Bali menganggap Lombok itu juga bagian dari Bali. Karena itu, ini persoalan sangat serius yang harus diselesaikan. Kami sudah capek meneriakkan soal ini sejak lama,” katanya. Di Gili Tramena terdapat sebanyak 890 hotel. Jika ditambah dengan resto, jumlahnya bisa lebih seribu.(bul)