Foto aerial objek wisata Pantai Pesona Tanjung Tihu di Desa Tihu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, Rabu (16/10/2024).(Antara/Adiwinata Solihin) KABINET Prabowo-Gibran tengah digodok untuk segera diumumkan pascapelantikan pada 20 Oktober mendatang. Salah satu yang mencuri perhatian ialah sosok yang akan memimpin Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) setelah dipisah menjadi dua entitas berbeda. Terkait hal itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menggarisbawahi pentingnya keberanian pengambilan keputusan bagi Menteri Pariwisata yang akan datang. Menurutnya, Menteri Pariwisata harus mampu mengatasi berbagai masalah di industri pariwisata dan berkolaborasi dengan kementerian serta lembaga terkait. "Kalau kita bicara pariwisata hanya soal promosi, itu terlalu kecil. Persoalan industri jauh lebih besar. Persaingan kita di ASEAN juga cukup ketat," ujar Alan, dalam keterangan resminya, Kamis (17/10). Meskipun Indonesia naik peringkat dari 32 menjadi 22 dalam Travel and Tourism Development Index 2024, hal itu bukan suatu hal yang dapat dibanggakan dari sisi industri. Pasalnya, industri pariwisata Indonesia justru tertinggal dari negara lain untuk pasar pariwisata di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, serta Vietnam. Indonesia hanya urutan kelima. "Idealnya kan keduanya menang. Walaupun performa bagus, tetapi industri tidak sehat, tidak akan bisa juga kita men-trigger (memicu) pasar," ungkapnya. Dirinya pun menyoroti regulasi sebagai kunci untuk memperbaiki kesehatan industri pariwisata. Ia mencontohkan bahwa sektor perhotelan di Indonesia membutuhkan kebijakan yang jelas terkait standar usaha hotel. "Kita punya standar usaha hotel di UU 10/2009 yang diturunkan ke PM 53. Namun, dengan UU Cipta Kerja, aturan itu tidak lagi bersifat mandatory," jelasnya. Ia berharap agar pemerintah segera mengambil kebijakan untuk memberikan pedoman klasifikasi hotel, mengingat saat ini belum ada pedoman yang konkret. "SNI Hotel dan SNI CHSE memang ada, tetapi siapa yang mau pakai itu?" tanyanya. Selain itu, Maulana mengingatkan bahwa birokrasi harus memahami kondisi lapangan agar regulasi yang dibuat dapat diimplementasikan dengan baik. Kalau birokrasi tidak melihat fakta di lapangan, ini akan jadi masalah besar saat implementasi. Alan turut meyakini bahwa Presiden terpilih, Prabowo Subianto sudah memiliki gambaran orang yang akan ia pilih untuk menjadi Menteri Pariwisata. Salah satu permasalahan yang harus diselesaikan ialah perbaikan regulasi terhadap operasional Online Travel Agent (OTA) asing. Pasalnya, saat ini kehadiran OTA asing dinilai merugikan pariwisata dalam negeri, mulai dari pembebanan pajak kepada hotel hingga menggetok harga kepada hotel. Karenanya, regulasi pariwisata harus menjadi prioritas dalam 100 hari pertama pemerintahan baru. "Kementerian Pariwisata itu bukan kementerian sektoral yang mengatur perizinan, tetapi harus menjadi induk industri pariwisata untuk membantu mengkomunikasikan dengan lembaga terkait," tegasnya. Terkait dengan pemisahan Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif, Maulana menilai bahwa pemisahan tersebut harus dilakukan dengan pertimbangan matang. Menurutnya, kedua sektor ini memiliki permasalahan yang cukup besar, sehingga masing-masing harus berdiri sendiri untuk lebih fokus. "Ekraf itu punya potensi besar dan jika ditunjang oleh industri pariwisata, akan sangat menarik," ujarnya. Namun, Maulana mengingatkan bahwa jangan sampai pemisahan tersebut justru menghambat kerja kementerian karena masalah nomenklatur yang belum tuntas. "Jangan sampai kementerian terlalu sibuk mengurus nomenklatur, sementara pemerintah ingin mengejar pertumbuhan di industri pariwisata," pungkasnya. (Z-2)