TRIBUN-BALI.COM - Selama ini, pemerintah tak bisa menarik pajak pelaku online travel agent (OTA) asing. Ini lantaran mereka tidak memiliki badan usaha tetap (BUT) di Indonesia. Pemerintah diminta untuk memperbaiki regulasi agar OTA bisa dikenakan pajak. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menegaskan, regulasi terkait OTA asing perlu diperbaiki lantaran merugikan pengusaha hotel dalam negeri. Para agen perjalanan asing itu kerap meminta pajak komisi dalam jumlah besar dan membebankan pajak pertambahan nilai (PPN) kepada pihak hotel. Baca juga: Pemkab Bangli Bahas Regulasi Pendakian Gunung di Bangli Baca juga: PANAS Kasus Ormas, Polisi Bersenjata Berjaga di The Umalas Signature, Pemegang SHGB Pemilik Sah Ilustrasi -Para agen perjalanan asing itu kerap meminta pajak komisi dalam jumlah besar dan membebankan pajak pertambahan nilai (PPN) kepada pihak hotel. (freepik) "Itu harus diatur ulang, siapa sih yang memungut, siapa yang dipungut dan siapa yang membayar ke pemerintah. Itu harus clear terlebih dahulu oleh pemerintah," ujarnya dikutip Tribun Bali dari Kompas.com, Rabu (30/10). Ia menegaskan, pihak yang memperbaiki regulasi terkait OTA asing ini haruslah orang-orang yang memahami seluk-beluk pariwisata. Agen perjalanan erat hubungannya dengan sektor pariwisata yang menjadi sumber pendapatan negara yang diandalkan Indonesia. Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025, pemerintah menargetkan peningkatan nilai devisa pariwisata sebesar 22,10 miliar dollar AS, serta kontribusi pariwisata terhadap produk domestik bruto (PDB) ditargetkan meningkat menjadi 4,6 persen. "Pariwisata itu luas, mencakup transportasi, akomodasi, dan atraksi. Jika semuanya digabungkan, mungkin kontribusinya bisa lebih dari 5 persen," ucapnya. Pelaku industri hotel dan restoran berharap pemerintah baru bisa membenahi masalah yang dihadapi sektor pariwisata saat ini. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran melihat masih ada sejumlah tantangan penting yang harus diatasi untuk memastikan keberlanjutan industri pariwisata yang kuat dan kompetitif. Di antaranya, regulasi dan birokrasi memiliki dinamika yang panjang, serta keberadaan OTA sing. Maulana menyebut, keberadaan OTA asing merugikan sektor akomodasi di Indonesia karena mereka tidak membayar pajak dan memberlakukan sistem parity rate yang membatasi harga jual hotel. “OTA asing ini tidak memiliki NPWP, jadi industri lokal yang akhirnya harus menanggung pajak sebesar 20 persen. Ini beban besar,” ungkap Maulana, belum lama ini. Ia bilang, OTA asing tidak membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen seperti yang diwajibkan pada penyedia jasa di Indonesia. Dalam aturan akomodasi perjalanan, komisi yang diterima OTA asing, misalnya sebesar 18 persen, harus dikenakan PPN. Begitu juga dengan pajak komisi 1,1 persen. OTA asing bisa tidak membayar pajak karena tidak memiliki BUT, yang akhirnya membuat mereka tidak membayar pajak tersebut dan membebankan kepada hotel. Tak jarang juga ada kasus hotel yang mengeluh OTA asing yang melanggar perjanjian kontrak. Dimana ketika masa kontrak antara hotel dan OTA berakhir, kamar hotel masih dijual melalui platform tanpa persetujuan hotel. Maulana menyebut, hal itu tentu merugikan hotel dari sisi operasional dan reputasi. Belum lagi soal OTA asing yang menggunakan strategi bakar uang’dengan memberikan diskon besar untuk menarik pelanggan.