Beberapa wisatawan menikmati suasana di Pantai Batu Bolong, Badung. Pemerintah Provinsi Bali menerapkan pungutan wisatawan asing dengan tujuan perlindungan alam, lingkungan, dan budaya Bali. (BP/Dokumen)MANGUPURA, BALIPOST.com – Pelaku pariwisata di Bali, khususnya Kabupaten Badung, mengeluhkan tingginya potongan komisi dari agen wisata berbasis daring atau online travel agency (OTA) yang menawarkan berbagai moda transportasi dan akomodasi. Para pelaku industri pariwisata keberatan dengan besarnya potongan komisi yang dikenakan oleh OTA yang mencapai 22 persen.Di tengah situasi tersebut, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) berharap, pemerintah pusat dapat memberikan dukungan berupa regulasi atau kebijakan yang lebih berpihak pada pelaku usaha lokal. Dukungan ini diharapkan dapat mengurangi beban komisi OTA atau bahkan memberikan insentif bagi para pelaku industri pariwisata agar mampu bertahan dan bersaing secara sehat.Sekretaris Badan Pengurus Cabang (BPC) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, I Gede Ricky Sukarta, saat pertemuan pelaku pariwisata di Kuta, Minggu (3/11), mengatakan, selain komisi agen, pelaku pariwisata juga harus membayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kondisi ini dianggap menjadi beban berat yang menekan para pelaku usaha pariwisata, terutama di tengah upaya mereka untuk pulih dari dampak pandemi Covid-19 dan bersaing dengan pasar internasional.“Kami berharap, ada dukungan dari pemerintah pusat untuk membantu meringankan beban ini. Selama ini, tamu yang kami dapatkan dari OTA harus dibayar komisi sebesar 22 persen. Setelah itu, kami masih dikenakan PPN 12 persen lagi,” ujarnya.Kondisi ini, lanjutnya, semakin membebani para pengusaha pariwisata lokal yang selama ini sangat bergantung pada OTA untuk mendapatkan tamu. Sebagai destinasi wisata utama di Indonesia, Bali menarik minat wisatawan lokal dan mancanegara. Namun, ketergantungan pada platform daring sebagai sarana pemasaran ini seolah menjadi pisau bermata dua.Di satu sisi, OTA memberikan akses pasar yang luas sehingga memperbesar peluang para pengusaha untuk menarik wisatawan. Di sisi lain, komisi yang cukup tinggi menjadi tantangan tersendiri. Pelaku usaha akomodasi kecil dan menengah khususnya, merasa kesulitan mengatasi beban tersebut, sehingga margin keuntungan yang mereka peroleh semakin berkurang.Pelaku pariwisata di Badung, Wayan Puspa Negara juga mengakui adanya potongan tersebut. Pihaknya berharap, ada solusi dari pemerintah pusat atau usulan dari pemerintah daerah. “Berharap dengan adanya pemerintahan yang baru di pusat maupun daerah dapat mencarikan solusi atas permasalahan ini,” katanya.Berbagai upaya telah dilakukan para pelaku pariwisata lainnya untuk mencari jalan keluar. Salah satu opsi yang sedang dipertimbangkan adalah mendorong para pelaku usaha untuk lebih memaksimalkan penggunaan platform mandiri atau saluran pemasaran langsung sehingga ketergantungan terhadap OTA bisa berkurang. Namun, tanpa dukungan yang memadai dari pemerintah, perubahan ini diperkirakan akan sulit diwujudkan dalam waktu dekat. (Parwata/balipost)