Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

PHRI Bali Dukung Moratorium Kawasan Sawah Jatiluwih, Sekaligus Selamatkan Warisan UNESCO

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Subak di Jatiluwih Tabanan telah mendapatkan status warisan budaya tak benda dari UNESCO pada 29 Juni 2012 lalu. Namun seiring berkembangnya sektor pariwisata dikawasan tersebut, banyak pembangunan Restoran dan Cafe membuat kabarnya status warisan budaya tak benda yang disematkan oleh UNESCO akan dicabut.  Baca juga: Ramai Isu Pembangunan Bandara Bali Utara, Apakah Bandara Ngurah Rai Sudah Penuh? Menanggapi hal tersebut, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati mengatakan perlunya pemahaman lebih dalam kepada masyarakat terkait pentingnya status UNESCO bagi Subak Jatiluwih, khususnya dari segi daya tarik pariwisata dan potensi akses pada lembaga internasional yang dapat mendukung pelestarian budaya lokal. Baca juga: Beberapa Kabupaten di Bali Minus Subak, Tantangan Terbesar di Denpasar, Badung dan Gianyar “Inilah yang perlu kita memberikan pemahaman kepada masyarakat, sebab kalau kita melihat betul dari hasil subaknya saja, dengan harga gabah Rp 6 juta, hasil per hektarnya 6-8 ton, dan satu kali siklus panen 4 bulan bahkan ada yang 6 bulan itu hasilnya kurang memadai. Di Bali kan tidak banyak punya lahan pertanian yang luas-luas, seperti bagaimana di Jawa yang hektaran. Bali ini sangat kecil sehingga hasilnya juga kecil,” jelas, Cok Ace pada, Senin 11 November 2024.  Lebih lanjutnya Cok Ace mengatakan bahwa pengakuan UNESCO memberikan keuntungan besar, baik bagi pariwisata maupun sebagai motivasi bagi pemerintah dan masyarakat untuk menjaga warisan budaya tersebut. “Nah bagaimana kita memberikan pemahaman kepada para petani bahwa dengan pengakuan UNESCO ini mempunyai kekuatan yang luar biasa, kekuatan sebagai daya tarik pariwisata, mengakses lembaga-lembaga internasional, dan merupakan motivator kita, pemerintah, dan masyarakat untuk menjaga warisan budaya,” imbuhnya. Untuk menjaga keberlanjutan Subak Jatiluwih, Cok Ace mengingatkan agar konsep pengembangan kawasan ini tidak semata-mata diarahkan untuk mendirikan fasilitas komersial seperti restoran, namun harus diimbangi dengan zonasi yang jelas dan tata ruang yang lebih terencana. “Kalau dikembangkan sebagai destinasi atau tujuan wisata, jangan semua bikin restoran-restoran, tapi sesungguhnya untuk menguatkan Jatiluwih sebagai objek irigasi subak yang mendapatkan penghargaan UNESCO apa yang mesti disiapkan? Tidak hanya semua amenities untuk restoran, tidak hanya itu, perlu memang perlu, tapi mungkin zonasinya dimana diatur, dibuatkan tata ruang lebih baik,” jelasnya. Ketika ditanya mengenai moratorium pembangunan di kawasan Subak Jatiluwih, Cok Ace menyatakan dukungannya. Menurutnya, moratorium ini adalah kesempatan baik bagi pemerintah daerah, khususnya Pemkab Tabanan, untuk mengevaluasi kebutuhan dan arah pengembangan pariwisata di wilayah tersebut.