JAKARTA, KOMPAS — Keputusan pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai pada 1 Januari 2025 disayangkan masyarakat di tengah kondisi perekonomian yang lesu. Serikat Usaha Muhammadiyah dalam keterangan tertulisnya bahkan meminta pembatalan. Rencana kenaikan pajak konsumsi dari 11 persen menjadi 12 persen itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran, kenaikan PPN menjadi 12 persen belum tepat untuk saat ini. Para pelaku usaha dari sektor pariwisata menilai, isu ekonomi masih menjadi masalah besar, termasuk daya beli masyarakat yang masih rendah. Kondisi dunia usaha juga sedang tidak baik-baik saja. Sebagai pelaku usaha, mereka membutuhkan pangsa pasar besar untuk berkompetisi dengan negara-negara lain. Tidak hanya itu, pihaknya juga harus memikirkan agar masyarakat masih berminat untuk berwisata.”Ini jadi masalah utamanya, bagaimana jika kondisi daya beli sudah menurun, harga juga meningkat karena ada peningkatan PPN itu sendiri, tentu akan mengurangi (pergerakan wisatawan). Rantai pasoknya juga akan terganggu,” tutur Maulana saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (15/11/2024). KOMPAS/AGUS SUSANTOPenginapan baru tumbuh subur di kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Kamis, 4 Agustus 2022. Pelaku wisata menilai kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, yang akan berlaku pada 1 Januari 2025, belum tepat.Pelaku usaha pariwisata merasa terhambat dalam pengembangan bisnisnya karena kenaikan PPN, sedangkan pemerintah pusat juga melakukan efisiensi belanja atau perjalanan dinas aparatur sipil negara (ASN). Padahal, kegiatan pemerintah berkontribusi terhadap 40-60 persen pangsa pasar perhotelan.”Pada saat pemerintah meningkatkan PPN-nya, itu akan memengaruhi. Kemudian, pemerintah sendiri sedang melakukan efisiensi. Ini akan bertolak belakang. Rate (biaya) naik, tetapi mereka juga harus melakukan efisiensi,” kata Maulana. Harusnya pelaku usaha didukung agar bisa meningkatkan demand sehingga seluruhnya bisa diserap.Efek penggandanya akan berdampak negatif pada banyak pihak. Saat ini, Maulana melanjutkan, beragam cara justru harus dilakukan untuk mengantisipasi ekonomi berbiaya besar. Pemerintah seharusnya jangan hanya mengeluarkan suatu kebijakan fiskal berbiaya tinggi. Pemerintah daerah berupaya meningkatkan pendapatan asli daerah, sedangkan pemerintah pusat berusaha menambah besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.”Ini, kan, enggak benar. Harusnya pelaku usaha didukung agar bisa meningkatkan demand sehingga seluruhnya bisa diserap. Kalau seperti ini, kan, (menguntungkan) sepihak,” ujar Maulana.Pemerintah harus membuka mata dan memahami masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Pemerintah, lanjut Maulana, harus menunda kebijakan menaikkan PPN 12 persen.Karyawan swasta Pekerja lepas Josephine Krisna (31) menolak PPN dinaikkan. Sebab, selama ini manfaat dari pajak-pajak yang telah dipungut pemerintah tidak dirasakannya secara langsung.”Jujur saja, iri dengan teman-teman di luar negeri. Mereka merasakan pajak yang dibayar benar-benar terpakai. Kalau PPN naik, timbal balik ke kita apa? Ketika pajak dinaikkan, kita dapat apa?" ujar Josephine.Pajak yang terlihat timbal baliknya, seperti infrastruktur, memang sudah tugas pemerintah menyediakannya. Namun, selain itu, dampak yang dirasakan langsung pada masyarakat begitu minim.Ketika PPN 12 persen direalisasikan, ia tentu akan lebih banyak pengeluaran. Sebab, upah minimum di tempatnya juga tidak meningkat signifikan.KOMPAS/RIZA FATHONIPetugas mendampingi wajib pajak mengisi data pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun 2023 di Mal Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, Minggu (31/3/2024). Josephine berharap ada timbal balik nyata dari PPN yang dinaikkan. Sebab, selama ini pelayanan dari aparatur sipil negara dan penegak hukum juga masih lambat, kurang optimal, sehingga rasa-rasanya rugi memberikan lebih banyak bagi negara.”Hal yang terpenting, layanan dari orang-orang pemerintah ini benar. Jangan cuma menaikkan, tetapi tidak ada timbal baliknya,” kata Josephine.Jangan cuma menaikkan, tetapi tidak ada timbal baliknya.Adapun karyawan swasta seperti Meggi (29) menyampaikan, kenaikan pajak sangat disayangkan. Bagi pekerja kontrak di sektor ritel di Jakarta seperti dirinya, kenaikan pajak dapat menaikkan biaya belanja makanan hingga transportasi yang dibutuhkan untuk kesehariannya. ”Kenaikan pajak 1 persen bisa saja menaikkan biaya belanja barang dan jasa sekian ratus hingga ribu rupiah. Kalau diakumulasikan tiap bulan pasti berasa juga bagi saya yang belum punya gaji lebih karena belum diangkat menjadi karyawan tetap,” tuturnya saat dihubungi di Jakarta. Gaji bulanan yang hanya Rp 4 juta saat ini diakui Meggi membuatnya masih sulit menabung. Sementara itu, pengeluarannya habis untuk menyewa kos-kosan tiap bulan dan membayar layanan transportasi daring karena belum bisa membeli kendaraan sendiri.KOMPAS/RADITYA HELABUMISejumlah pekerja berjalan melewati kawasan terpadu Dukuh Atas menuju Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, saat jam pulang kerja, Jumat, 30 Oktober 2020. Sejumlah karyawan swasta tetap bekerja pada saat cuti bersama karena kebijakan cuti bersama bagi karyawan swasta bersifat fakultatif. Agar dibatalkan Kritik terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen juga dilayangkan oleh Serikat Usaha Muhammadiyah (Sumu) yang memandang kenaikan itu bakal memberatkan pelaku usaha kecil. Oleh karena itu, kenaikan PPN yang efektif mulai tahun 2025 itu sebaiknya dibatalkan.Menurut Sekretaris Jenderal Sumu Ghufron Mustaqim, saat ini umumnya perusahaan, banyak di antaranya UMKM, sedang berjuang untuk bertahan (survive) di tengah turunnya daya beli masyarakat. Tidak sedikit pula yang mengurangi jumlah karyawan atau bahkan bangkrut.”Kenaikan PPN tersebut tidak sensitif terhadap dinamika dunia usaha saat ini dan malah kontraproduktif terhadap upaya pemerintah membuka lapangan pekerjaan di tengah kenaikan angka pengangguran,” ujar Ghufron dalam keterangan tertulis, Jumat (15/11/2024).Berdasarkan rilis Bursa Efek Indonesia (IDX) tentang daftar perusahaan LQ45, kata Ghufron, rasio keuntungan bersih (net profit) dengan pendapatan (revenue) hanya berkisar 11 persen. Itu tak jauh berbeda dengan besaran tarif PPN yang akan dikenakan. Ghufron menilai, tarif PPN yang lebih rendah akan dapat memutar transaksi penjualan dengan lebih cepat. Sebab, harga-harga produk bisa menjadi lebih kompetitif. Pada gilirannya, ini dapat membuka lebih banyak lapangan pekerjaan.KOMPAS/KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRISejumlah anak muda menghadiri bursa kerja atau job fair di SMK Budi Tresna Muhammadiyah, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (13/8/2024). Sebanyak 20 perusahaan berpartisipasi dalam kegiatan itu dengan jumlah sekitar 1.800 lowongan. Adapun tingkat pengangguran terbuka di Cirebon pada 2023 tercatat 7,65 persen atau 9.266 orang.Ia mengingatkan, kebijakan yang akan berlaku pada tahun depan itu otomatis menjadikan RI negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN. Sebagai perbandingan, PPN di Malaysia hanya 6 persen, sedangkan di Singapura dan Thailand sebesar 7 persen. Kenaikan pajak akan semakin memberatkan beban kalangan pengusaha, termasuk di sektor UMKM.”Di Vietnam, Kamboja, dan Laos PPN-nya sebesar 10 persen. Alih-alih dinaikkan, PPN di Indonesia seharusnya diturunkan lagi ke 10 persen seperti semula, dan secara bertahap turun ke 6-7 persen. Ini untuk mendorong konsumsi masyarakat," ucap Wakil Ketua Lembaga Pengembang UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu.