TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah untuk melakukan peninjauan ulang terhadap rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen. Menurutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa secara umum, dampak dari kenaikan tarif tersebut memengaruhi banyak sektor, bukan hanya hotel dan restoran.“Saya rasa sudah banyak yang memberikan masukan atau peringatan dari dunia usaha, bukan hanya hotel dan restoran. Semua sektor rasanya sudah memberi peringatan bahwa kebijakan itu akan berdampak pada penurunan penjualan,” tuturnya kepada awak media dalam jumpa pers di kawasan Jakarta Pusat pada Selasa, 19 November 2024.Sebagaimana diketahui, rencana pemberlakuan PPN 12 persen akan dimulai pada 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan kenaikan tarif dari yang awalnya 11 persen tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).Hariyadi menerangkan, sebagai antisipasi dampak dari kebijakan tersebut, PHRI memutuskan menerapkan survival mode melalui pengelolaan pengeluaran atau pengendalian pembiayaan, salah satunya dengan menyesuaikan jumlah pekerja harian (daily worker). Strategi ini dilakukan khususnya di daerah-daerah dengan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yang tidak signifikan.“Mungkin akan kejadian bahwa kita akan men-shut down dulu untuk daily worker, misalnya kayak gitu. Memang daily worker kan tergantung dari omzet ya, kalau penjualannya bagus ya mereka kerja, kalau enggak ya terpaksa harus di-shut down seperti itu,” ucap Hariyadi.Adapun strategi tersebut, kata dia, tidak hanya diimplementasi karena rendahnya daya beli dan kebijakan PPN 12 persen, melainkan juga sebagai respons dari kebijakan pemangkasan anggaran perjalanan dinas. Yakni, pemotongan sebesar 50 persen berdasarkan surat bernomor S-1023/MK.02/2024 yang dikeluarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 7 November 2024, sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.“Karena ini impact-nya banyak ya, daya beli yang turun, ditambah PPN (12 persen), ditambah lagi pemotongan anggaran. Jadi kami kena triple hit gitu ya, tiga tekanan,” katanya. Lebih lanjut, ia mengharapkan pemerintah juga dapat menjadikan data-data dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta data-data dari badan riset sebagai pertimbangan. “Menjadi salah satu pertimbangan untuk pemerintah untuk menunjang kembali kebijakan PPN-nya, maupun kebijakan pemotongan anggaran yang terkait dengan akomodasi, terkait dengan perjalanan,” ucapnya.