JAKARTA, KOMPAS — Industri pariwisata menilai pemangkasan anggaran perjalanan dinas aparatur sipil negara dan kenaikan pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen akan merugikan sektor dan masyarakat. Mereka berharap, pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini karena dianggap diterapkan saat daya beli masyarakat melemah.Menindaklanjuti instruksi Presiden Prabowo, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui surat edarannya meminta kementerian/lembaga menghemat anggaran belanja perjalanan dinas (perdin) hingga 50 persen pada 2024. Pemerintah juga berencana meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai awal 2025.Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pemangkasan anggaran perjalanan dinas berisiko berdampak pada penyerapan tenaga kerja di industri pariwisata. Sebab, okupansi hotel menurun, terutama dengan hotel-hotel di daerah, menyusul kebijakan itu.“Itu mungkin yang akan terdampak adalah sektor restoran dan hotel yang pasti terkena, khususnya di daerah karena market share pemerintah untuk hotel bintang 3-4 itu kira-kira 40 persen, sedangkan bintang lima 10-15 persen. Jadi memang cukup besar efeknya secara nasional,” tutur Hariyadi dalam konferensi pers di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa (19/11/2024).KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISASekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran didampingi Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani (dua dari kiri) menjawab pertanyaan wartawan dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/11/2024).Pangsa pasar di Indonesia bagian timur, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua, dapat mencapai 70 persen. Dampaknya akan begitu signifikan bagi daerah ketika kebijakan berjalan.“Jadi memang pengaruhnya cukup besar. Per hari ini memang belum terlihat, tetapi begitu efektif pemangkasan anggaran akan terlihat di hotel, lalu restoran. Market pemerintah ini, kan, kulineran di luar kalau ke daerah, berimbas juga ke restoran,” ujar Hariyadi.Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen, Hariyadi melanjutkan, akan berimbas buruk bagi seluruh sektor, tidak hanya hotel dan restoran. Berdasarkan data terakhir PHRI, penurunan konsumsi masyarakat secara umum telah terjadi, khususnya target pasar kelas menengah bawah. Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita), Budijanto Ardiansjah, berpendapat, kenaikan PPN menjadi 12 persen belum tepat dilakukan. Apalagi, Indonesia sempat mengalami deflasi 5 bulan berturut-turut pada Mei-Oktober 2024.“Artinya, daya beli masyarakat sedang turun-turunnya ditambah tahun depan PPN akan dinaikkan menjadi 12 persen. Ini tambah berat. Kalau target pemerintah mengejar pajak, maka bukan waktunya sekarang karena pasti akan sangat memberatkan, terutama untuk dunia usaha,” tutur Budijanto.KOMPAS/COKORDA YUDISTIRASuasana di Desa Penglipuran, sebuah desa wisata yang berada di Kecamatan Kubu, Kabupaten Bangli, Minggu (11/12/2022). Desa wisata Penglipuran ramai dikunjungi wisatawan, baik pelancong dari dalam negeri maupun turis asing.Kenaikan tarif PPN, menurut Budijanto, akan berimbas pada lebih mahalnya harga barang dan jasa yang diterima konsumen. Industri dan bisnis pariwisata tidak akan berkembang karena masyarakat akan menahan pengeluarannya.Hingga saat ini, tingkat pembatalan perjalanan dinas pada agen-agen perjalanan di bawah naungan Asita dapat mencapai 50-60 persen secara nasional. Pada daerah tertentu, tingkat pembatalan hampir mencapai 100 persen.Efisiensi besar-besaranPemotongan anggaran perjalanan dinas dan rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen memaksa para pelaku usaha melakukan efisiensi besar-besaran. Bukan tidak mungkin, pengurangan tenaga kerja juga akan meningkat ketika tingkat pembatalan perjalanan dinas meningkat.Sebenarnya, Hariyadi mengatakan, pemutusan hubungan kerja (PHK) pada sektor hotel dan restoran telah dituntaskan saat pandemi Covid-19. Kala itu, penyerapan tenaga kerja sudah menurun. Penyusutan berkisar 20-30 persen dibanding sebelum pandemi.“Jadi kalau ditanya apakah PHK terjadi di sektor hotel dan restoran saat ini, kami sudah mencapai maksimal, kecuali pemangkasan anggaran mulai terasa. Nanti mungkin akan berkurang lagi,” ujar Hariyadi.KOMPASPramusaji bersiap menghidangkan Bistecca di restoran khas Italia il Mare Hotel Mulia Jakarta, Jumat (3/3/2023). Saat ini, mayoritas karyawan restoran dan hotel merupakan pekerja harian (daily worker). Ketika tamu berdatangan, maka mereka akan dipanggil untuk bekerja. Perbandingan antara pekerja harian dan kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) adalah 1:1.Dari sisi mata rantai lain, seperti vendor peternakan yang memasok telur, ayam, dan sapi; vendor pertanian yang menyuplai sayur-mayur; dan, vendor amenities (fasilitas) yang memasok sabun dan pasta gigi, juga akan terdampak. Mayoritas para penyuplai adalah pelaku usaha makro, kecil, dan menengah.Berkaca dari tahun 2015, Presiden Joko Widodo juga sempat menekan anggaran perjalanan dinas. Selama tiga bulan, sektor hotel dan restoran mengalami penurunan pemasukan karena sepi tamu. Akhirnya, pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut karena dianggap tidak tepat.Hariyadi mengatakan, PHRI telah menyurati Kemenkeu dan Presiden Prabowo Subianto agar meninjau ulang rencana pemangkasan anggaran perdin. Sebab, anggaran pemerintah untuk perjalanan dinas dan akomodasi ini sebetulnya berfungsi sebagai stimulus di daerah. Pemerintah daerah pun terimbas karena kutipan pajak hotel dan restoran menjadi turun. “Tidak semua (pelaku usaha) bisa mengantisipasi dengan baik. Pihak yang bisa antisipasi adalah daerah-daerah dengan kunjungan wisatawan cukup tinggi, seperti Bali dan Batam (Kepulauan Riau). Daerah lain dengan kunjungan wisatawan rendah tentu agak sulit,” ujar Hariyadi.Infografik Riset Proporsi Jumlah Pekerja Pariwisata Terhadap Total Pekerja 2015-2019Bagi daerah yang sulit mengantisipasi, PHRI mendorong untuk melakukan “mode bertahan”. Mereka harus bisa mengelola pengeluaran karena terdampak penyusutan daya beli, PPN bertambah, dan pemangkasan anggaran perdin. Para pelaku usaha akan menghentikan sementara penyerapan tenaga kerja harian, karena penggunaan jasa bergantung omzet perusahaan.Secara terpisah, Budijanto mengingatkan, pemangkasan anggaran perjalanan dinas yang terjadi pada zaman Presiden Jokowi dapat menjadi referensi. Pemerintah akhirnya membatalkan setelah diprotes banyak pihak. Itu artinya, kebijakan ini perlu ditinjau ulang.“Saat melakukan perjalanan dinas, ada rezeki orang yang terpotong di industri pariwisata. Pemerintah perlu melakukan skala prioritas kepentingan. Mudah-mudahan nanti menemukan cara terbaik supaya anggaran negara tetap diefisienkan, tanpa merugikan pihak lain,” ujar Budijanto.Masyarakat dirugikanSelain efiesiensi secara internal, pelaku usaha hotel dan restoran juga akan melakukan penghematan yang berdampak pada konsumen. Mereka tidak serta-merta meningkatkan tarif hotel di tengah pelemahan daya beli.Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, para pelaku usaha terpaksa menurunkan kualitas pelayanan karena ragam penghematan yang dilakukan. Selain itu, beberapa promosi yang ditawarkan juga akan dipangkas. “Jadi hotel bisa dibilang yang paling terakhir menaikkan harga. Kalau bisa menaikkan harga itu harapannya saat high season (musim libur), biasanya sudah masuk ke semester dua. Namun, prediksi itu tidak bisa dilakukan di semua destinasi wisata,” kata Maulana.KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISASekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran (kiri) bersama Vice Chairman of Business Development PHRI Antony Putihrai saat menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Selasa (19/11/2024).Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sotya Sasongko, mengatakan, hotel dan restoran selama ini membebankan PPN pada konsumen. Alhasil, operasional mereka semestinya tidak banyak terganggu. Meski demikian, pihak hotel dan restoran tidak segan untuk menurunkan kualitas pelayanannya. Ada juga penerapan harga terpisah antara sewa kamar dan makan. Sejumlah konsumen saat ini hanya menyewa kamar hotel, tanpa paket sarapan.Sejauh ini, Sotya memperkirakan, pihak yang paling terdampak adalah konsumen. Dengan harga sewa hotel dan harga kuliner di restoran yang naik, masyarakat akan berpikir ulang untuk mengeluarkan biaya pada pos tersebut, apalagi pariwisata merupakan kebutuhan sekunder, bahkan tersier.“Kemungkinan wisatawan akan melakukan efisiensi dengan mencari hotel bertarif lebih rendah dan kuliner lebih terjangkau atau menunda berwisata sampai situasi stabil,” ujar Sotya.Jika wisatawan menunda berwisata, permintaan akan menurun. Kemungkinan akan terjadi perang harga, diskon, atau penambahan fasilitas pada level harga yang sama.infogrrafik Tingkat Penghunian Kamar Hotel Bintang dan Nonbintang 2015-2020Sotya meyakini, pendapatan pajak dari pengenaan PPN lebih tinggi akan berkontribusi sangat besar bagi negara. Kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah harus disosialisasikan terus-menerus pada seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah wajib menjamin pajak dialokasikan sebagaimana semestinya dan tepat sasaran, tidak bocor. “Pemerintah yang baru ini sudah ditunggu kiprahnya oleh masyarakat, tegas dan disiplin menjadi harapan baru. Ketika sudah ditetapkan pajak menjadi 12 persen sudah seharusnya dijalankan dengan baik. Pengawasan dan pemanfaatan harus tepat sasaran,” kata Sotya.Ia berharap agar para pelaku usaha yang selama ini telah tertempa, berefisiensi, dan berinovasi tidak lantas mengorbankan keselamatan. Asosiasi usaha pariwisata harus memotivasi anggotanya agar tetap menerapkan regulasi dan keselamatan di atas segalanya.