Bandung - Kebijakan pemerintah melakukan efisiensi anggaran dan mengurangi perjalanan dinas sesuai Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 berdampak besar bagi sektor perhotelan di Kota Bandung.Sejumlah pengusaha hotel mengaku kehilangan pendapatan hingga miliaran rupiah akibat berkurangnya berbagai kegiatan seperti rapat dan acara pemerintahan lainnya yang biasa digelar di di hotel.Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat, Dodi Ahmad mengatakan, sejak turunnya Inpres soal efisien anggaran, pengusaha hotel di Kota Bandung mengalami kerugian hingga Rp 12,8 miliar akibat pembatalan kegiatan dari pihak pemerintah. ADVERTISEMENT SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT "Sampai hari ini, jumlah pembatalan (kegiatan di hotel) yang ada di Kota Bandung sudah mencapai kurang lebih Rp 12,8 miliar dan ini bisa bertambah terus," kata Dodi saat dikonfirmasi, Kamis (13/2/2025).Menurut Dodi, pembatalan pemesanan hotel untuk kegiatan pemerintah tidak hanya berasal dari pemerintah daerah, namun juga dari pemerintah pusat hingga kementerian."Sudah banyak yang membatalkan pesanan dari kementerian-kementerian dari Jakarta maupun di tingkat provinsi dari dinas-dinas yang bersangkutan," ujarnya.Dodi mengatakan, kerugian yang dialami pengusaha hotel kemungkinan bakal terus berlanjut mengingat efisiensi anggaran untuk APBD 2025 terus dilakukan pemerintah. Dampak lainnya, hal itu berpotensi menimbulkan pemutusan hak kerja (PHK) kepada karyawan hotel."Kalau ini berkepanjangan kemungkinan besar usaha dari hotel dan pariwisata bisa memangkas karyawannya minimal 50 persen dari jumlah karyawan sekarang," jelasnya.Dodi memperkirakan jumlah karyawan hotel di Jawa Barat yang terancam PHK jumlahnya mencapai puluhan ribu. Jumlah itu dihitung dari total karyawan di hotel bintang 3 hingga 5 yang ada di Jabar."Contoh hotel bintang 3 sampai bintang 5, kalau satu hotelnya ada 100 orang saja kurang lebih kan ada 10.000-an karyawan, mungkin 50 persennya (dikurangi), jadi kalau di seluruh Jawa Barat asumsinya bisa 40 ribuan, tapi itu masih perkiraan angkanya belum pasti," katanya.Adanya efisiensi anggaran juga membuat tingkat okupansi hotel saat ini hanya ada di angka 30-35 persen. Jumlah itu menurut Dodi tidak mencukupi untuk memenuhi Break Event Poin (BEP) dimana okupansi minimal ada di angka 50 persen."Karena sekarang sudah kelihatan bulan Januari saja hotel-hotel di Jawa Barat khususnya di Kota Bandung okupansinya 30 persen sampai 35 persen," tegasnya.Meski begitu, Dodi menyebut pengusaha hotel masih berupaya untuk mempertahankan kondisi yang ada tanpa melakukan pengurangan pegawai. Karena itu, dia berharap ada kebijakan khusus dari pemerintah agar usaha hotel bisa terus bertahan."Kalau selama dua bulan masih bisa kita tanggulangi tapi kalau sampai akhir lebaran nanti (bulan) April masih begini, semua sudah sepakat bagi yang okupansinya kurang akan melaksanakan efisiensi dari semua kegiatan. Salah satunya yang paling besar karyawan," tutup Dodi.Respons PHRI CirebonEfesiensi anggaran juga dilakukan di pemerintah daerah, salah satunya Pemkab Cirebon. Kondisi demikian menuai kritik tajam dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Cirebon. Kebijakan ini dinilai dapat berdampak buruk terhadap sektor perhotelan dan ekonomi daerah yang bergantung pada kegiatan MICE (meetings, incentives, conventions, and exhibitions).Ketua PHRI Kabupaten Cirebon, Ida Kartika secara tegas menolak kebijakan tersebut. Menurutnya, sektor MICE selama ini menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi pendapatan hotel dan pajak daerah."Kami menolak kebijakan ini karena pajak daerah juga didapat dari sektor MICE. Kalau anggaran dipangkas, bagaimana nasib kami sebagai pelaku industri hospitality? Apa solusi yang diberikan pemerintah?" kata Ida saat ditemui detikJabar, Kamis (13/2/2025).Ida juga menyoroti dampak kebijakan ini terhadap tenaga kerja di sektor perhotelan. Jika kegiatan rapat dan pertemuan pemerintah tidak lagi digelar di hotel, maka akan sulit bagi hotel-hotel untuk menutupi biaya operasional, yang pada akhirnya dapat berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK)."Kalau hanya mengandalkan wisatawan, tidak akan cukup. Pemerintah jangan hanya mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi industri hotel dan restoran," tambahnya.Selain itu, PHRI juga khawatir dengan rencana kenaikan pajak hotel sebesar 12 persen, yang dinilai akan semakin membebani pengusaha hotel. Ida menegaskan bahwa jika pajak dinaikkan, maka pemerintah harus tetap mempertahankan kegiatan MICE sebagai salah satu sumber pendapatan bagi hotel-hotel di Cirebon.Menanggapi polemik ini, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Cirebon, Hilmy Riva'i, mengatakan bahwa pemerintah daerah tengah mengkaji skema efisiensi anggaran sesuai arahan pemerintah pusat. "Prinsipnya, Pemkab Cirebon akan menyesuaikan alokasi anggaran, termasuk perjalanan dinas, hak-hak pimpinan daerah, serta pelaksanaan kegiatan di hotel," ujar Hilmy.Ia menjelaskan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) bersama Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) masih menyusun strategi efisiensi, dengan mempertimbangkan kondisi keuangan daerah."Di tingkat nasional, target efisiensi mencapai 50 persen. Namun, di daerah, kami akan menyesuaikan besarannya agar tetap realistis," tambahnya.Hilmy menekankan bahwa Pemkab Cirebon akan berupaya agar efisiensi anggaran tidak berdampak pada sektor prioritas seperti infrastruktur dan irigasi, yang berperan penting dalam mendukung perekonomian masyarakat.Selain itu, Pemkab Cirebon juga tengah mengkaji penerapan sistem administrasi berbasis digital sebagai upaya pengurangan penggunaan kertas (paperless), serta mempertimbangkan kebijakan mengenai kendaraan dinas sesuai arahan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat."Yang jelas, kami akan memastikan bahwa efisiensi anggaran tetap dilakukan secara bijak, tanpa mengorbankan sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap kesejahteraan masyarakat," tutupnya. (sud/sud)