Efek Efisiensi Anggaran, Omzet Hotel Berbintang di Jateng Drop 30 Persen PHRI kirim surat permohonan ke Kemendagri Potret menu buka puasa di Yello Hotel Jemursari Surabaya (Dok. Yello Hotel Jemursari) Semarang, IDN Times - Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang melakukan efisiensi anggaran sesuai Inpres Nomor 1 Tahun 2025, berdampak negatif terhadap industri perhotelan di Jawa Tengah. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Tengah menyatakan dari total 500 hotel lebih yang ada saat ini, terdapat 52 persen di antaranya yang mengandalkan segmen kalangan tamu pemerintah atau MICE. Baca Juga: Ketua KPK Sarankan Kepala Daerah Kurangi Protokoler Demi Efisiensi 1. Mayoritas hotel didominasi segmen MICEIlustrasi hotel mewah (pexels.com/Pixabay)Penasehat PHRI Jawa Tengah, Bambang Mintosih mengungkapkan berdasarkan hasil pertemuan antara pelaku usaha hotel di Semarang hari ini, didapatkan fakta bahwa mayoritas hotel memang mengandalkan MICE untuk meningkatkan okupansi ruang meetingnya. "Jadi sebagian besar atau 52 persen hotel di Jawa Tengah itu selama ini mengandalkan MICE. Tapi adanya peraturan recofusing anggaran, katakanlah rata-rata hotel pendapatannya Rp2-Rp3 miliar, sekarang otomatis berkurang 30 persen," kata Benk, sapaan akrabnya saat dikontak IDN Times, Kamis (6/3/2025). 2. Hotel sudah tidak pakai tenaga harianHotel Santika Dyandra Medan menyajikan aneka soto nusantara (IDN Times/Doni Hermawan)Lebih lanjut lagi, pihaknya juga menekankan aturan efisiensi anggaran telah mempengaruhi okupansi ruang meeting di semua hotel bintang tiga sampai bintang lima. Sebab, Jawa Tengah selama ini menjadi salah satu simpul kedatangan tamu kunjungan pemerintah untuk menggelar agenda rapat skala besar di dalam hotel. Pengaruh efisiensi anggaran pada sektor perhotelan pun, katanya sudah dirasakan sejak pertengahan Februari kemarin. "Peraturan ini sejak diberlakukan oleh pemerintah membuat hotel-hotel kehilangan segmentasi pasarnya. Karena terus terang semua hotel di sini andalan utamanya itu dari MICE. Dampak langsungnya setiap hotel sudah melakukan pemangkasan. Utamanya para tenaga kerja harian sekarang sudah gak dipakai lagi, mereka menggunakan SDM pegawai yang sudah ada saat ini," akunya. 3. Beresiko terjadi PHK massalilustrasi terkena PHK (freepik.com/freepik)Pihaknya mengkhawatirkan apabila aturan efisiensi anggaran diberlakukan secara kontinyu tanpa adanya solusi dari pemerintah pusat, nantinya beresiko muncul PHK massal di sektor perhotelan. Diperkirakan dampak terparah akan dirasakan pelaku usaha perhotelan mulai bulan April-Juni dan September mendatang yang mana pada periode tersebut biasanya merupakan masa peak season. "Paling parah pasti terjadi bulan April, Mei, Juni dan September. Karena bersamaan dengan peak season. Kalau pemerintah tidak memberi solusi, ya pemilik hotel-hotel dan karyawan kena imbasnya semua. Bisa-bisa terjadi PHK massal," tuturnya. 4. PHRI Jateng usul teken perjanjian dengan pemdailustrasi kamar hotel (pexels.com/Engin Akyurt)Benk bersama pemilik dan pimpinan hotel bintang tiga, bintang empat dan bintang lima kini telah berkirim surat ke Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan pemda untuk memohon supaya aturan efisiensi anggaran dikaji ulang. Pihaknya berharap efisiensi anggaran diberlakukan enam bulan saja seperti era Presiden Jokowi dengan sejumlah solusi yang meringankan beban pelaku usaha. Selain itu, opsi lainnya bisa dengan meneken MoU dengan masing-masing pemda untuk mengatur lagi agenda rapat kedinasan di hotel. Dengan cara itu, menurutnya tindakan mark-up anggaran dapat diantisipasi."Karena saya yakin aturan ini arahnya kepada mencegah mark-up anggaran. Makanya solusinya bisa membuat perjanjian dengan pemda supaya mengatur anggaran rapat kedinasan di hotel. Cukup pagunya diminimalisir aja," pungkasnya. Baca Juga: Menu Unik Buka Puasa Hotel Tentrem: Gudeg Es Krim Sampai Salmon Gelugur