JAKARTA, KOMPAS — Sektor usaha hotel, restoran, dan kafe menjadi kontributor besar timbulan sampah, khususnya sisa makanan. Salah satu tantangan pengelolaan sampah dari sektor usaha ini adalah mitra pengelola sampah masih kerap menyatukan sampah yang sudah dipilah.Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), jenis sampah paling banyak dihasilkan adalah sampah makanan sebesar 39,43 persen dan plastik 19,54 persen. Sementara jumlah timbulan sampah pada 2024 sebanyak 32,6 juta ton. Artinya, timbulan sampah makanan pada 2024 mencapai 12,9 juta ton.Data SIPSN juga menunjukkan, sumber utama sampah di Indonesia berasal dari rumah tangga hingga 50,71 persen. Sumber utama sampah lain, di antaranya, berasal dari pasar (16,66 persen), kawasan (11,35 persen), perniagaan (11,06 persen), perkantoran (5,15 persen), fasilitas publik (3,54 persen), dan sumber lain (1,53 persen). Wakil Ketua Umum Bidang Wisata Berkelanjutan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Lucia Karina mengemukakan, sampah dari sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka) memiliki jenis beragam, baik organik maupun anorganik. Jenis sampah ini termasuk sisa makanan dari penyajian prasmanan atau bufet.KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWORandi menunjukkan sampah makanan dari rumahnya yang bisa ia olah menjadi cairan ekoenzim di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (20/5/2022).”Khusus di hotel dan restoran yang digunakan untuk tempat acara biasanya ada sampah dari bahan-bahan dekorasi, seperti bunga atau ranting. Untuk hotel, mulai dari ruang lobi, ada sampah anorganik seperti plastik,” ujarnya dalam diskusi tentang pengelolaan sampah pada sektor horeka, di Jakarta, Jumat (14/3/2025).Selama ini sektor horeka banyak mengikuti aturan pengelolaan sampah, termasuk pemilahan. Namun, kadang sampah organik dan anorganik yang sudah dipilah horeka dijadikan satu oleh mitra pengelola sampah. Pihak horeka juga tak mengetahui proses akhir pengelolaan sampah itu.Untuk mengatasi tantangan ini, Karina memandang pengelolaan sampah oleh mitra perlu audit guna mengetahui ketelusuran sampah itu. Di sisi lain, infrastruktur pengelolaan sampah terpadu yang terintegrasi perlu ditingkatkan. Sebab, keterbatasan infrastruktur membebani sektor horeka.Jika kita ingin menciptakan keadilan praktik berbisnis, seharusnya ada regulasi yang mendukung insentif dan penegakan hukum.”Beberapa hotel mengeluarkan biaya jutaan rupiah untuk sekali penarikan sampah melalui mitra dengan pihak pengelola sampah. Jika kita ingin menciptakan keadilan praktik berbisnis, seharusnya ada regulasi yang mendukung insentif dan penegakan hukum,” ungkapnya.PANDU LAZUARDY PATRIARIDirektur Sarirasa Tanahmula Charles Phillipus Siregar menyadari bahwa bisnisnya turut menciptakan sampah, khususnya sampah organik atau sisa makanan. Karena itu, sejak 2019 Sarirasa Group melakukan praktik pemilahan sampah dan menerapkan manajemen sampah reduce, reuse, dan recycle (3R).”Dengan adanya pemilahan, nilai sampah akan jadi meningkat. Pihak yang bermitra mengambil sampah organik atau sisa makanan tiap dua hari sekali ke tempat kami karena tidak tercampur dengan jenis lain,” tuturnya.Kebijakan pemdaDirektur Pengurangan Sampah dan Pengembangan Ekonomi Sirkular Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Agus Rusli menyampaikan, sektor usaha horeka menjadi salah satu kontributor timbulan sampah makanan dan plastik.”Bahkan, dengan maraknya aplikasi jasa dan pesan makanan, kontribusi timbulan sampah usaha hotel, restoran, dan kafe masuk ke rumah tangga kita semua,” ucapnya.Sebagai salah satu kontributor timbulan sampah, sektor usaha horeka harus menjadi prioritas dalam pelaksanaan komitmen pemerintah daerah (pemda) menuntaskan masalah sampah. Penanganan sampah yang dihasilkan sektor horeka merupakan bagian penting dalam menyelesaikan persoalan dari hulu atau sumbernya. Agus menekankan, tiap pemda harus menetapkan kebijakan dan regulasi yang mewajibkan sektor horeka untuk mengelola sampah makanan yang dihasilkan. Adapun upaya yang dilakukan meliputi penghindaran, pembatasan, pemilahan, dan pengolahan secara mandiri atau bermitra dengan jasa pengolah sampah makanan berizin dan kredibel.Saat ini tercatat 114 pemda terdiri dari 2 provinsi, 67 kabupaten, dan 45 kota yang sudah menerbitkan kebijakan daerah tentang pelarangan dan penggunaan plastik sekali pakai di sektor usaha ritel, hotel, restoran, dan kafe.