Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Turun, Tingkat Hunian Hotel di Libur Lebaran 2025

JAKARTA, KOMPAS — Tingkat hunian hotel secara nasional pada Lebaran 2025 lebih rendah ketimbang periode sama tahun sebelumnya. Rendahnya daya beli masyarakat serta pergeseran tren preferensi akomodasi dan penginapan ditengarai jadi sebabnya. Dua hari menjelang Lebaran, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan, geliat berlibur masyarakat pada Lebaran 2025 lebih lesu. Durasi menginap lebih singkat. Ini tecermin dari tingkat hunian atau okupansi hotel.”Trennya, yang terjadi dari sisi libur Lebaran ini, kelihatannya peak (puncak) itu rata-rata hanya sampai dengan Lebaran hari ketiga. Setelah itu, berdasarkan laporan yang masuk, langsung turun okupansinya (hotel),” ujar Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (29/3/2025).PHRI memperkirakan para pemudik mempersingkat waktu liburannya. Ada potensi para pelaku perjalanan menginap di rumah saudara atau penginapan lain yang tidak tercatat PHRI. Namun, Hariyadi meyakini opsi utama menginap masih di perhotelan.KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISAKetua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (12/8/2024). Yogyakarta masih lumayan Saat musim puncak, Hariyadi melanjutkan, durasi menginap pelaku perjalanan bergantung daya beli. Ketika memiliki cukup uang, mereka akan tinggal lebih lama. Demikian pula sebaliknya. ”Kalau liburan, apalagi dengan keluarga, bawa anak, lumayan banyak pengeluarannya. Kalau enggak punya uang cukup, pasti akan memperpendek (masa berlibur),” katanya.Dalam rentang Senin hingga Kamis (31/3-3/4/2025), rata-rata tingkat hunian hotel masih berkisar 70-80 persen. Selanjutnya, tingkat hunian menurun perlahan. Karena Yogyakarta memang favorit untuk berlibur, tidak untuk Solo. Kota tersebut, hari ketiga Lebaran sudah drop (okupansinya).Hanya Yogyakarta yang tingkat hunian hotelnya dapat bertahan lebih lama. Ini setidaknya berlangsung hingga Minggu (6/4/2025), khususnya hotel-hotel di Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.”Karena Yogyakarta memang favorit untuk berlibur, tidak untuk Solo. Kota tersebut, hari ketiga Lebaran sudah drop (okupansinya). Namun, secara keseluruhan, okupansi tetap lebih rendah walau (libur) lebih panjang,” ujar Hariyadi. Kompas/Ferganata Indra RiatmokoWisatawan memadati kawasan wisata Jalan Malioboro, Yogyakarta, 5 Mei 2022 malam. Malioboro masih menjadi salah satu tujuan wisata utama bagi wisatawan serta pemudik yang mengisi masa libur Lebaran di kota tersebut.Bali turun Dibanding Lebaran 2024, tingkat hunian hotel di Bali juga lebih rendah. Pada Lebaran 2024, Bali Selatan, misalnya, memiliki tingkat hunian sekitar 60 persen. Saat ini, perkiraan tingkat huniannya turun menjadi 40-50 persen.Dengan kondisi perekonomian saat ini, sektor perhotelan pada 2025 diproyeksi bisa lebih buruk ketimbang pada 2024. Jika dibandingkan dengan sebelum pandemi Covid-19 pada 2019, tingkat pemulihan baru 90 persen di 2024.Ketua PHRI Kota Bogor Yuno Abeta Lahay mengatakan, tingkat hunian perhotelan di Kota Bogor baru sekitar 28 persen hingga Jumat (28/3/2025). Padahal, periode yang sama pada 2024 tembus 60 persen. Ia memprediksi pada H-2 Lebaran dapat meningkat hingga 51 persen.”Itu sesuatu yang tidak menggembirakan karena sebelumnya (tingkat hunian) sampai 80 persen kalau hari-hari seperti ini,” ucap Yuno.KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKOWarga terlihat melintas di depan ”homestay” yang dikelola Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngaran di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jateng, Kamis (25/6/2020).Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Azril Azhari mengatakan, rendahnya tingkat okupansi hotel secara nasional mencerminkan juga potensi pergeseran opsi masyarakat memilih penginapannya. Alih-alih ke hotel berbintang, kini banyak pelaku perjalanan memilih vila, resor atau sanggraloka, serta homestay. ”Mereka lebih banyak memanfaatkan penginapan homestay, lebih murah, bukan lagi hotel-hotel berbintang. Homestay karena lebih nikmat dan bisa lebih lama karena tunjangan hari raya mereka terbatas. Itu jadi pengeluaran besar karena biaya liburan kali ini terbatas,” katanya. Saat ini, pengusaha yang meraup untung justru pemilik homestay dan vila. Kedua jenis penginapan itu bersifat lebih personal dan privat, model akomodasi yang kini lebih banyak diminati masyarakat. Sifatnya lebih fleksibel ketimbang hotel. Pelanggan dapat membawa makanan, bahkan memasak di dapur yang telah disediakan.”Penginapan yang banyak laku itu memiliki kolam renang, alat masak, dan alat pemanggang (barbeque). Mereka bisa berkumpul dengan keluarga. Harga satu vila berkisar Rp 2 juta-Rp 10 juta, tetapi mereka bisa lebih bebas berkegiatan secara personal,” kata Azril.