Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Dampak Efisiensi Anggaran, Industri Perhotelan di Musim Panen Libur Lebaran pun Tetap Merana

KabarBaik.co- Musim libur Lebaran biasanya menjadi masa panen bagi para pelaku usaha perhotelan, restoran, hingga sektor ekonomi kreatif dan UMKM. Namun, tampaknya tidak demikian dengan tahun ini. Seperti diprediksi, tingkat keterisian (okupansi) hotel di masa Lebaran 2025 ini rata-rata anjlok. Menurun cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan ekonomi masyarakat kelas menengah, kelesuan ekonomi belakangan ini hingga kebijakan efisiensi melalui Instruksi Presiden (Inpres) 1/2025 disebut-sebut menjadi biangnya. Dampak penurunan okupansi hotel itu, bayang-bayang PHK di sektor perhotelan pun kemungkinan makin terang. Bahkan, beberapa hotel dikabarkan sudah tutup karena tidak kuat menahan beban operasinal. Situasi ‘’gelap’’ okupansi hotel itu hampir merata. Termasuk di wilayah-wilayah yang selama ini dikenal sebagai Kawasan ‘’gemuk’’. Yakni, menjadi jujukan kunjungan para wisatawan. Baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Sebut saja, Bali, Jogjakarta, dan beberapa daerah lain. Jika di musim panen libur Lebaran saja okupansi drop, apalagi di hari-hari biasa tentunya berpeluang besar makin mengkhawatirkan. Menurut Deddy Pranowo, ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, penurunan okupansi hotel itu salah satu faktornya diduga karena lesunya daya beli masyarakat. Banyak orang pulang kampung, tapi mereka memilih untuk tidak menginap di hotel atau memperpendek durasi liburan untuk menghemat pengeluaran. ’’Okupansi data kita tanggal 1 dan 2 April ini rata-rata 60 persen se-DIY, khusus Kota Yogyakarta dan Sleman bisa 70 persen,’’ katanya kepada awak media, Kamis (3/4). Adapun reservasi pada 2-5 April 2025, mencapai angka 50 persen. Dibandingkan libur Lebaran tahun lalu, menurut Deddy, data itu mengalami penurunan yang cukup signifikan. Yakni, mencapai 20 persen. ’’Target 80 persen saja belum tercapai sampai dengan saat ini. Semoga ada hari yang tercapai. Tapi, tren meningkat di tanggal 2 sampai dengan 4 April 2025 ini,’’ ungkapnya. Selain penurunan tingkat okupansi, lanjut dia, PHRI DIY juga mencatat terjadi penurunan durasi menginap masyarakat di hotel. Rata-rata hanya dua hari. Sementara itu, Wakil Ketua PHRI Pusat Maulana Yusran menilai situasi ini dapat berujung pada penutupan hotel di berbagai daerah. Menurut dia, kuartal pertama biasanya menjadi gambaran awal bagaimana kondisi sektor perhotelan dalam satu tahun ke depan. Namun, tahun ini terjadi perlambatan bahkan hampir tidak ada reservasi yang masuk. ’’Kami melihat bahwa reservasi untuk tahun ini hampir tidak ada. Padahal biasanya dari kuartal pertama sudah mulai terlihat pergerakannya,” katanya. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan karena kebijakan efiesiensi atau pemangkasan anggaran oleh pemerintah. Dampak kebijakan itu paling terasa di beberapa daerah. Maulana mengungkapkan, dua hotel di Bogor telah memutuskan untuk menutup operasional setelah merumahkan para karyawannya. Yakni, Hotel Sahira Butik di Paledang dan Hotel Sahira Butik di Pakuan. ’’Jika kontribusi revenue hotel itu mencapai lebih dari 60 persen dan kondisinya terus tertekan, tentu mereka tidak akan kuat untuk terus beroperasi. Akhirnya, pilihan yang ada adalah melakukan efisiensi besar-besaran atau menutup operasionalnya,” ungkapnya. Karena itu, lanjut dia, PHRI meminta pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan efisiensi yang berdampak besar terhadap sektor perhotelan. Tanpa langkah konkret dari pemerintah, perhotelan di berbagai daerah akan semakin terpuruk. “Selama pemerintah belum melakukan evaluasi, bisnis perhotelan akan terus melakukan efisiensi untuk bertahan. Kalau sudah tidak bisa bertahan, langkah terakhirnya adalah tutup,” katanya. Maulana mencontohkan bagaimana pemerintah sempat memberikan stimulus bagi sektor perhotelan saat pandemi Covid-19 dengan menggelar berbagai kegiatan di daerah untuk mendorong pergerakan ekonomi. Namun, saat ini belum ada langkah konkret untuk menyeimbangkan dampak dari efisiensi anggaran terhadap industri perhotelan. “Kondisi saat ini mirip dengan saat Covid-19, di mana okupansi hotel jatuh hingga 12 persen karena pembatasan pergerakan. Bedanya, sekarang pasarnya yang dihambat oleh kebijakan efisiensi pemerintah,” tuturnya. Sebelumnya, Ketua PHRI Pusat Hariyadi Sukamdani memprediksi potensi kerugian industri perhotelan akibat kebijakan efesiensi anggaran oleh pemerintah tersebut mencapai Rp 24 triliun. Angka ini setara dengan 40 persen okupansi hotel secara nasional. Efek domino dari efisiensi anggaran terhadap industri hotel terjadi pada sejumlah sektor, seperti UMKM dan penerimaan pajak daerah dari sektor pariwisata. ’’Dampaknya pasti akan sangat terasa, karena mata rantainya juga cukup panjang. Mulai dari pertanian, peternakan, sampai UMKM itu kan terlibat semua. Kalau itu ngga ada ordernya kan otomatis turun semuanya. Pendapatan asli daerah juga pasti akan terpengaruh karena dari pajak hotel dan restoran itu kita selalu menduduki peringkat lima besar,” katanya seperti dilansir sejumlah media. (*) Cek Berita dan Artikel kabarbaik.co yang lain di Google News