Pelaku usaha di sektor perhotelan dan restoran menyuarakan keresahan terhadap gangguan yang berasal dari organisasi masyarakat (ormas), yang dinilai semakin marak dan mengganggu kelangsungan bisnis. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyebut gangguan dari ormas sebagai “makanan harian” bagi dunia usaha. “Gangguan terhadap operasional usaha dari ormas memang sebenarnya itu makanan hari-hari dunia usaha, dan sekarang makin marak karena semua mengeluh dengan kondisi ini,” ujar Maulana dalam pernyataannya yang dikutip Kamis (1/5/2025). Maulana berharap pemerintah dapat mengambil langkah tegas untuk menertibkan ormas yang bertindak di luar koridor hukum. Ia menekankan bahwa pelaku usaha membutuhkan kepastian hukum untuk menjamin kelangsungan dan efisiensi investasi di Indonesia. Ia juga menyoroti lemahnya perlindungan hukum dalam proses perizinan usaha, yang menurutnya justru kalah kuat dibandingkan pengaruh media sosial. Maraknya penyebaran narasi negatif di dunia digital, terutama yang melibatkan buzzer, dinilai bisa menghancurkan reputasi sebuah usaha dalam waktu singkat. “Menghakimi bisnis itu mudah di era digitalisasi. Ini juga bentuk lain dari premanisme. Jadi, premanisme bukan hanya soal ormas yang menuntut imbalan di luar aturan, tapi juga media sosial dan buzzer bisa jadi ancaman besar,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa digitalisasi memang mempermudah penyebaran informasi, namun jika implementasinya salah, dampaknya justru bisa merugikan investasi. Sebab, dalam industri barang dan jasa, citra merupakan faktor utama. Para pelaku usaha, lanjut Maulana, sebisa mungkin berusaha menghindari konflik atau kesalahan yang dapat diviralkan. Namun realitanya, kesalahan kecil saja bisa dibesar-besarkan dan menjadi kampanye negatif yang berdampak luas. “Ini sangat merugikan bisnis dan memprihatinkan. Sudah saatnya ada regulasi khusus untuk menangani persoalan ini,” pungkasnya.