Ilustrasi industri hotel. Foto: dok Bapenda Pekanbaru. Jakarta: Libur panjang Waisak pada 9-13 Mei 2025 tidak mampu mendorong lonjakan signifikan pada okupansi hotel. Meskipun terjadi peningkatan pada 9 dan 10 Mei, tingkat keterisian kamar secara nasional justru turun dibandingkan libur panjang dengan jumlah hari yang sama tahun lalu. "Kalau kita lihat dari long weekend-nya saja, okupansinya memang naik, tapi lebih rendah dari tahun lalu," kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani saat dihubungi, dikutip Selasa, 13 Mei 2025. Menurut Hariyadi, penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk melemahnya daya beli masyarakat dan pergeseran pola konsumsi akomodasi. Banyak wisatawan, terutama di daerah seperti Bali, memilih tinggal di vila-vila sewaan berbasis sharing economy yang tidak tercatat secara resmi dalam data perhotelan. "Flight-nya banyak, tapi mereka kebanyakan tinggal di vila-vila yang tidak terdeteksi, yang boleh dibilang ilegal karena tidak berizin menjual jasa akomodasi seperti hotel," ujar Hariyadi. Kondisi ini berdampak langsung pada pendapatan hotel. Dengan tingkat okupansi yang menurun, sektor perhotelan mengalami penurunan pendapatan dan melakukan penyesuaian tenaga kerja. "Pendapatan pasti turun. Karena okupansinya turun, otomatis jumlah karyawan juga disesuaikan," tambah dia. Hariyadi menyebut sekitar 50 persen pekerja di sektor perhotelan telah terdampak, baik pekerja harian maupun kontrak. Banyak kontrak kerja yang tidak diperpanjang, dan jam kerja pun dipangkas sambil menunggu kondisi membaik. Tak hanya itu, beberapa hotel juga terpaksa menutup sementara operasionalnya karena tidak mampu bertahan. "Ada beberapa yang tutup. Tapi tutupnya itu sifatnya sementara, menyesuaikan kondisi pasar," jelas Hariyadi. (Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani. Foto: Medcom.id)Pemerintah lambat eksekusi belanja Ia menilai lambatnya eksekusi belanja pemerintah juga memperburuk kondisi industri. Selama kuartal pertama tahun ini, belanja pemerintah disebut nyaris tidak berjalan. Jika tidak segera dikejar pada kuartal kedua, penurunan kinerja industri perhotelan akan makin dalam. "Kalau pemerintah telat lagi eksekusi belanjanya, itu bisa sampai 40 persen turunnya dari tahun lalu (penurunan okupansinya) Tapi kalau segera dijalankan, penurunan bisa ditekan di angka 20 persen sampai 30 persen," beber dia. PHRI juga menyampaikan harapan agar pemerintah daerah lebih aktif mengawasi akomodasi ilegal seperti vila tanpa izin, yang dinilai merugikan pendapatan daerah. "Itu enggak bayar pajak daerah. Jadi harusnya pemerintah daerah yang mengawasi. Sayangnya banyak yang lemah pengawasannya, seperti di Bali," ungkap Hariyadi. Sementara itu, untuk mendorong pemulihan sektor, Hariyadi menilai strategi paling realistis adalah percepatan realisasi belanja pemerintah.