Semarang - Tingkat okupansi hotel di Jawa Tengah (Jateng) kembali menurun usai libur panjang. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jateng menyebut ada penurunan okupansi hotel di hari biasa sekitar 30-40 persen dibanding tahun lalu.Hal ini diungkapkan Penasihat PHRI Jateng, Bambang Mintosih. Ia menyebut, saat libur panjang memang okupansi hotel di Jateng penuh. Namun setelahnya, ekonomi hotel dalam keadaan sulit."Nanti ini kan Juni mulai tanggal 25 libur, saat ini kita megap-megap dulu. Pertengahan Mei-Juni megap-megap, harus hemat benar-benar dari yang kemarin, yang libur panjang kemarin," kata Benk, sapaan akrabnya, saat dihubungi detikJateng, Jumat (16/5/2025). SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT Menurut Bambang, hotel-hotel di Jateng sangat bergantung pada segmen Meeting, Incentive, Convention, dan Exhibition (MICE), terutama dari pemerintah. Namun hingga kini, ia mengeklaim belum ada anggaran pemerintah yang dibelanjakan untuk kegiatan di hotel."Kalau sampai tidak ada relaksasi, minimal yang 50 persen itu segera dibelanjakan. Ya sudah (hotel) pasti tenggelam," ujarnya."Belum ada event, nggak segera dibelanjakan, ya pasti PHK. Ini berkurang jauh terutama hotel-hotel yang punya banyak meeting room, banyak ruang pertemuan pasti berkurang," lanjutnya.Ia menyebut, hotel hanya terbantu saat libur Lebaran dan long weekend. Namun selepas itu, okupansi hotel kembali drop."Sebetulnya sudah dari Januari, biasanya ada 1-2 event, ini nggak ada. Terus kebantu Lebaran. Yang paling kasihan ini tenaga harian di hotel," tuturnya."Keputusan paling bijak ya meniadakan daily worker, mengandalkan anak-anak sekolah yang training, nggak dibayar," lanjutnya.Ia menyebut, penurunan okupansi hotel bisa mencapai 30-40 persen dibanding tahun lalu, khususnya pada hotel berbintang yang memiliki fasilitas ruang pertemuan. Sementara hotel bintang dua cenderung tidak terlalu terdampak karena memang tidak bergantung pada MICE."Kalau semua hotel, baik bintang maupun nonbintang ada 2000-an lebih, tapi kalau yang bintang ya sekitar 450-an, yang paling terdampak adalah hotel yang punya meeting room banyak," ungkapnya.Benk turut mengkhawatirkan tren penurunan harga kamar akibat okupansi hotel yang menurun. Pasalnya, selama ini harga hotel telah diturunkan demi bisa meningkatkan okupansi."Yang kita khawatirkan kan itu nanti bintang 4 harga bintang 3. Susah. Terutama pemilik yang hanya punya bisnis hotel," jelasnya.Benk pun berharap pemerintah bisa segera hadir dan melakukan relaksasi termasuk pembelanjaan anggaran dan potensi insentif pajak. Ia juga mendorong pemerintah daerah untuk kreatif membuat event yang menarik wisatawan."Tinggal Pemda harus pandai bikin event. Waktu Waisak, Magelang penuh semua. Event motor besar juga bantu banget. Harusnya Semarang bisa bikin seperti itu," tuturnya.Ia mengingatkan, jika kondisi ini terus dibiarkan, dampak terburuk adalah gelombang PHK besar-besaran."Dampak terburuknya ya kukut. Kita ini capek ngeluh, sekarang inginnya bareng-bareng nyalakan lilin," tutupnya. (afn/apu)