Daya beli rendah, ragam libur panjang, serta prioritas belanja pendidikan pada tahun ajaran baru menjadi faktor penentu gairah berwisata pada medio 2025.JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha wisata belum dapat memproyeksi animo masyarakat pada masa libur sekolah. Namun, daya beli yang rendah masih menjadi tantangan di tengah pertimbangan orangtua yang akan memprioritaskan belanja pendidikan pada tahun ajaran baru. Segmentasi pasar perlu dilakukan sebagai siasat bertahan.Kinerja pariwisata saat libur panjang akhir pekan (long weekend) pada Sabtu (17/5/2025) hingga Selasa (20/5/2025) meningkat dari masa normal. Namun, angkanya tetap lebih rendah ketimbang musim sejenis pada 2024. Para pengusaha juga belum dapat memproyeksikan geliat pada libur sekolah anak yang jatuh pada Juni-Juli 2025 karena ketidakpastian ekonomi.Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan belum dapat memproyeksi gairah berlibur pada libur sekolah mendatang. Sebab, pertimbangan orangtua yang perlu mencadangkan lebih banyak biaya untuk tahun ajaran baru dapat berdampak pada tidak optimalnya serapan okupansi saat berlibur.”Belum bisa memperkirakan secara jelas, tetapi yang bisa kita lihat adalah kebutuhan masyarakat pada tahun ajaran baru lumayan banyak. Anak sekolah itu uang pangkalnya enggak sedikit. Jadi, orangtua pasti berpikir lagi untuk belanja karena hal utama untuk anak sekolah dulu,” tutur Hariyadi saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (17/5/2025).Apalagi, Hariyadi melanjutkan, libur panjang akhir pekan juga akan terjadi pada awal Juni 2025 guna memperingati Hari Lahir Pancasila (1 Juni 2025) dan Idul Adha 1446 Hijriah (6 Juni 2025). Sejauh mana pengaruh masa libur tersebut, PHRI akan terus memantau. Okupansi hotel secara nasional lebih rendah pada libur panjang pada akhir pekan lalu ketimbang musim sejenis pada 2024. Tiap daerah memiliki alasan yang berbeda-beda.Bali, misalnya, tingkat keterisian pesawat terbang penuh. Namun, terjadi penurunan pada okupansi hotel. ”Ada vila ilegal yang pada dasarnya bersifat sharing economic, seperti yang disewakan melalui Airbnb dan Travelio,” kata Hariyadi.Secara umum, masalah utama yang dihadapi masih serupa dengan beberapa bulan terakhir, yakni daya beli masyarakat yang rendah. Selain itu, durasi berlibur juga singkat, apalagi banyak perusahaan yang tidak menerapkan cuti bersama.”Itu juga dampaknya sekalipun seseorang punya kemampuan bepergian, maka length of stay enggak lama, ya saat tanggal merah (libur) saja. Angka tertinggi hanya pada 10-11 Mei 2025. Kalau melihat dari sama-sama empat hari libur, memang relatif lebih rendah dari tahun lalu,” tutur Hariyadi.Selain itu, penyerapan okupansi hotel kurang optimal karena banyak anak muda yang memilih berlibur ke luar negeri. Sebab, biaya yang dikeluarkan serupa dengan penerbangan domestik, justru dengan hasil yang lebih menguntungkan.”Ya mereka pilih ke luar negeri dengan harga yang sama, dapat pengalaman baru di negara lain,” ucapnya.Pendiri Indonesia Tourism Strategis, Taufan Rahmadi, mengemukakan, pergeseran tren dari menginap di hotel ke jenis penginapan lain, seperti apartemen, telah berlangsung sejak pandemi Covid-19. Orientasi utama masyarakat mencari tempat tinggal, antara lain vila dan homestay, adalah mendapatkan ragam pertimbangan harga, fasilitas, fleksibilitas, dan pengalaman.”Kalau menginap di vila bisa merasakan suasana (alami) dengan harga lebih kompetitif. Menginap di homestay ini lingkungan dikelilingi sawah, suasana adventure, jauh dari keramaian, enggak terbatas pada high rise building, jadi lebih otentik dan terasa nilai-nilai kearifan lokalnya,” ujarnya.Taufan berharap pada regulator, khususnya Kementerian Pariwisata, agar dapat mendorong stimulus-stimulus bagi pelaku usaha sektor pariwisata. Dalam hal ini, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat bertahan di tengah kebijakan pemangkasan anggaran.”Saya berharap kolaborasi makin dikuatkan antarpemangku kepentingan pariwisata agar pariwisata tetap jadi mesin ekonomi yang membawa keadilan dan kesejahteraan,” katanya.Siasat menggeser segmenPersiapan khusus menyambut libur sekolah mendatang mulai dilakukan Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta. Hal itu meliputi fasilitas kegiatan dan penginapan (homestay).Pengelola Desa Wisata Nglanggeran, Sugeng Handoko, mengemukakan, pihaknya tengah menyiapkan fasilitas umum, homestay, serta jalur perjalanan (tracking). Unsur-unsur kelokalan ditingkatkan, seperti menambah alat tempat minum dari gerabah.Meski demikian, ia mengakui bahwa kondisi ekonomi yang sedang tidak mendukung berimbas pada kualitas kunjungan desa wisata. Isu itu menambah daftar panjang masalah yang dihadapi, setelah terdampak pemangkasan anggara pemerintah, sehingga mengurangi kuantitas studi banding dinas yang akan mengembangkan pariwisata. Pelarangan wisata edukasi (study tour) juga memperparah kondisi.”Ya persentasenya itu sekitar 40-45 persen (penurunan). Secara jumlah itu kuantitas meningkat, tetapi secara perputaran ekonomi terjadi penurunan karena kuantitas pembeli paket wisata itu menyusut.Sugeng mengatakan, orang-orang cenderung hanya berkunjung. Mereka membeli tiket masuk, kemudian berkegiatan sebentar, lantas pulang. Sebaliknya, jika mereka membeli paket, otomatis uang yang dibelanjakan ke desa juga lebih besar.”Saat ini, kami cari segmen lain dengan menggagas rumah belajar budaya ekowisata. Kami berupaya memperluas segmen dan membuat program khusus dengan segmentasi lebih kecil, tetapi bisa berdampak (lebih) ke masyarakat,” katanya.Sugeng tidak hanya menargetkan segmen pelajar, tetapi juga khalayak umum. Rumah belajar budaya itu memiliki kurikulum pembelajaran terkait ekowisata, desa wisata, dan budaya.”Ibarat orang yang ingin bersekolah dan mengembangkan daerahnya bisa mengambil paket itu. Nanti akan lebih terstruktur. Kami punya paket dari 3 hari, 4 malam hingga 7 hari. Jadi, tidak hanya kunjungan studi banding yang rata-rata hanya 2 hari, 1 malam,” ujarnya.Guna melepas ketergantungan terhadap segmen pemerintah secara bertahap, Sugeng dan seluruh pemangku kepentingan desa Nglanggeran akan berjejaring dengan pelaku ekowisata Indonesia. Mereka akan menyasar kelompok dengan anggaran yang tidak terganggu, antara lain organisasi nirlaba mandiri (NGO) yang menerima donor pihak asing.Pendekatan ke desa-desa secara langsung juga diupayakan. Sebab, desa memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Nilainya tidak terpengaruh efisiensi sehingga menjadi target potensial.Upaya serupa dilakukan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). TMII memproyeksikan animo libur sekolah akan lebih tinggi ketimbang momen libur panjang. ”Ada beberapa program yang sudah kami siapkan juga. Kalau libur sekolah biasanya di luar Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang juga banyak karena lumayan panjang liburnya, seperti daerah-daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Biasanya kami targetkan jumlah kunjungan lebih tinggi,” kata Direktur Utama TMII Intan Ayu Kartika.