TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kebijakan larangan study tour oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) terus menuai sorotan. Pelaku industri pariwisata di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), salah satu daerah tujuan utama pelajar, menilai bahwa masalah utama bukan terletak pada kegiatan study tour-nya, melainkan pada mekanisme pembiayaan yang perlu dievaluasi dan diperbaiki. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY, Deddy Pranowo Eryono, menyebutkan bahwa study tour sejatinya memiliki nilai edukatif yang tinggi. Larangan total justru menciptakan dampak ekonomi luas, termasuk pada sektor perhotelan dan restoran di DIY. “Kalau kami dari PHRI DIY menilai kebijakan ini konyol. Harusnya bukan pelarangan, tetapi perbaikan mekanisme. Bukan aktivitasnya yang bermasalah, tapi teknis pungutan yang bisa dibenahi,” ujarnya. Menurut Deddy, sebagian besar sekolah memiliki sistem yang memungkinkan pembiayaan dilakukan secara ringan, seperti tabungan sejak awal tahun ajaran. Karena itu, pelarangan justru menyamaratakan semua sekolah tanpa melihat variasi kebijakan internal masing-masing. “Beberapa sekolah sudah punya sistem tabungan siswa. Tidak semua serta-merta memungut biaya tinggi,” tambahnya. Kebijakan larangan study tour di Jawa Barat turut memengaruhi geliat pariwisata di Yogyakarta. Pasar pelajar dari provinsi tersebut merupakan yang terbesar di DIY, terutama saat masa liburan sekolah. Pangsa pasar pelajar menyumbang sekitar 30 persen dari okupansi hotel, bahkan bisa mencapai 50 persen di musim libur. “Jawa Barat itu nomor satu. Setelahnya DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Lampung. Ketika study tour dilarang, otomatis pasar itu hilang,” ungkap Deddy. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Yogyakarta. PHRI Jawa Barat pun mulai mengalami penurunan kunjungan akibat pergeseran aktivitas wisata. Deddy menyebutkan pihaknya sudah berkoordinasi dengan PHRI pusat dan DPD PHRI Jawa Barat untuk menyampaikan keberatan resmi kepada Kepala Dinas Pendidikan Jabar, namun hingga kini belum mendapat tanggapan.