PONTIANAK, SP - Industri perhotelan dan restoran di Kalimantan Barat (Kalbar) menyambut positif pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang membolehkan pemerintah daerah kembali menggelar kegiatan, termasuk rapat dan pertemuan, di hotel dan restoran. Namun pelaku usaha menekankan bahwa pernyataan tersebut belum cukup, karena hingga kini belum terlihat implementasinya di lapangan. Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kalbar, Edi Chandra, menilai kebijakan ini sebagai angin segar setelah lesunya sektor perhotelan akibat larangan kegiatan di luar kantor selama masa efisiensi anggaran. Namun, hingga kini menurutnya belum ada kejelasan soal teknis pelaksanaan maupun besaran anggaran yang akan digelontorkan untuk kegiatan tersebut di lapangan. Ia menekankan bahwa pelaku industri masih menunggu langkah nyata dari pemerintah daerah. "Pada dasarnya kami menyambut baik pernyataan Mendagri Tito Karnavian ini menjadi kabar positif bagi industri perhotelan dan restoran di Kalbar yang sempat lesu karena larangan kegiatan di luar kantor. Meskipun demikian kami masih menunggu realisasi dan implementasi dari kebijakan tersebut di lapangan," kata Edi saat diwawancarai pada Minggu (8/7). "Karena sejauh ini belum ada kejelasan terkait berapa besar anggaran yang akan dikucurkan untuk kegiatan pemerintahan yang diperbolehkan digelar di hotel maupun detail teknis pelaksanaannya,” sambungnya. Edi menambahkan pendapatan hotel selama ini bukan semata dari sewa kamar, melainkan juga dari berbagai kegiatan dan acara yang melibatkan institusi pemerintahan. Apalagi saat kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan dalam beberapa waktu terakhir sektor perhotelan sangat terdampak. "Besar harapan dengan adanya kejelasan kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kegiatan pertemuan dan rapat yang melibatkan hotel dan restoran bisa kembali menggeliat seperti dulu," harapnya. Menurut Edi, selama masa efisiensi anggaran, banyak hotel terpaksa mengurangi jumlah pekerja harian dan kontrak karena minimnya aktivitas. Apalagi menurutnya sekarang persaingan makin ketat dengan munculnya rumah kos dan penginapan nonformal, sementara hotel harus mengelola operasional dengan tenaga kerja tiga shift yang tidak sedikit. Oleh karena itu, Edi berharap pernyataan dari Mendagri bisa segera diterjemahkan dalam bentuk kebijakan nyata di daerah. Ia menilai pemerintah daerah perlu merespons dengan cepat agar kegiatan di hotel dan restoran kembali menggeliat, sekaligus membantu pemulihan ekonomi dan sektor pariwisata. "Dengan demikian ke depan akan turut membantu memulihkan sektor pariwisata dan ekonomi daerah. Kita tinggal menunggu pemerintah daerah merespons dari pernyataan Mendagri Pak Tito Karnavian," jelas Edi. Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi BS Sukamdani juga menyambut baik kebijakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengizinkan pemerintah daerah menggelar rapat di hotel dan restoran. Hariyadi menilai kebijakan itu dapat memulihkan sektor perhotelan. "Tentu kita menyambut baik ya. Karena itu kan yang diharapkan memang untuk segera pulih kembali sektor hotel. Tentu kita sangat mengapresiasi apa yang disampaikan oleh Bapak Mendagri. Intinya itu, karena itu otomatis itu akan sangat membantu memulihkan sektor perhotelan. Itu yang sangat kita butuhkan, sebetulnya itu," kata Hariyadi saat dihubungi, Sabtu (7/6). Menurutnya, dengan kebijakan tersebut ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) massal karyawan hotel dan restoran pun dapat terhindari. Dia lantas berharap tak ada lagi ancaman PHK massal. "Insya Allah kalau begini akan pulih. Nantinya akan sangat membantu perusahaan untuk recover dari sisi keuangannya. (PHK massal) itu bisa dihindari. Jadi Insya Allah kita doakan nggak terjadi apa-apa," ujarnya. Hariyadi pun mendukung penuh kebijakan tersebut. Menurutnya, pemerintah daerah memang perlu melakukan rapat di hotel dan restoran demi kebutuhan. "Sangat mendukung dan terima kasih kebijakan itu dilonggarkan. Karena emang sebetulnya bukan karena semata-mata kita minta pemerintah itu spending. Tapi memang kebutuhannya ada. Pemerintah daerah itu ada keperluannya," jelasnya. "Jadi bukannya pemerintah daerah lalu membuat kegiatan di hotel atau restoran itu dengan tujuan asal belanja gitu ya. Tapi memang ada keperluannya. Kan mereka perlu melakukan rapat koordinasi, melakukan sosialisasi, melakukan pelatihan kayak gitu-gitu kan perlu tempat. Jadi memang ada keperluannya, ada kebutuhannya," imbuh dia. Diizinkan Pemerintah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan lampu hijau kepada seluruh pemerintah daerah untuk kembali menggelar ragam kegiatan hingga rapat di hotel dan restoran. "Daerah boleh melaksanakan kegiatan di hotel dan restoran. Saya jamin karena saya sudah bicara langsung (dengan Presiden Prabowo)," ujar Tito saat menghadiri Musrenbang Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat di Mataram, Rabu. Tito menekankan bahwa pemerintah harus memikirkan hotel dan restoran yang hidup dari agenda meeting, incentive, convention, dan exhibition (MICE). Menurutnya, lapangan usaha perhotelan dan restoran memiliki karyawan yang tidak sedikit dan juga rantai pasok makanan serta minuman. Kegiatan rapat di hotel dan restoran dapat menghidupkan para produsen yang memasok barang ke hotel dan restoran. "Kurangi boleh, tetapi jangan sama sekali tidak ada, tetap laksanakan kegiatan di hotel dan restoran. Target betul hotel dan restoran yang kira-kira agak kolaps, buatlah kegiatan di sana supaya mereka bisa hidup," kata Mendagri. Ia menyampaikan bahwa peluang paling besar untuk menggelar kegiatan dan rapat di hotel atau restoran hanya ada di daerah sebab pemerintah pusat hanya memotong anggaran sebesar Rp50 triliun untuk 552 daerah di Indonesia. Angka pemotongan anggaran Rp50 triliun itu tidak terlalu signifikan jumlahnya sehingga alokasi anggaran lain tidak terganggu. "Jadi, daerah biarkan saja untuk (rapat) ke hotel dan restoran, tidak apa-apa. Perjalanan dinas, fine. Tolong pakai perasaan kalau seandainya rapat cukup tiga sampai empat kali, jangan dibikin 10 kali rapat," ujar Tito. Ada Pedoman Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengatakan bahwa rapat-rapat yang digelar oleh pemerintah daerah (pemda) di hotel membutuhkan pedoman agar tak kebablasan, walaupun sudah diperbolehkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Relaksasi efisiensi anggaran bagi pemerintah daerah dimaksudkan untuk mendukung keberlangsungan hotel dan restoran. Namun, dia mengingatkan bahwa parameter jelas dibutuhkan untuk relaksasi tersebut. "Secara prinsip setuju atas relaksasi efisiensi anggaran tersebut. Industri perhotelan harus didukung oleh pemerintah," kata Khozin dalam keterangannya, Minggu (7/6). Menurut dia, panduan yang jelas bagi Pemda dalam relaksasi anggaran penting diterbitkan revisi atas surat edaran yang telah diterbitkan Kemendagri. Adapun pada 23 Februari 2025, Menteri Dalam Negeri menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor 900/833/SJ sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. "Idealnya, menteri menerbitkan SE baru sebagai perubahan atas SE sebelumnya,” kata dia. Dia menilai bahwa surat edaran itu dibutuhkan bagi pemda sebagai pedoman dalam pelaksanaan relaksasi anggaran, khususnya terkait penggunaan anggaran yang bersifat seremonial, kajian, hingga seminar. Pasalnya, di Inpres dan SE sebelumnya, dijelaskan bahwa belanja kegiatan yang bersifat seremonial harus dibatasi. "Harus ada pedoman baru, agar tidak terjadi kebingungan atau kebablasan. Spirit efisiensi dan relaksasi harus terukur,” kata dia. Untuk itu, dia mengingatkan kepada Kementerian Dalam Negeri agar melakukan kajian secara matang sebelum mengeluarkan kebijakan agar hal yang dihasilkan dapat terukur dan memberi manfaat bagi publik. "Ke depan dalam setiap menerbitkan kebijakan harus ada kajian yang matang dan terukur. Jangan ada kesan plin-plan,” demikian Khozin. Bergantung Kegiatan Pemda Imam (bukan nama sebenarnya) mulai merasa was-was. Sejak Januari hingga Februari ini, tingkat okupansi hotel tempatnya bekerja turun tak seperti biasanya. Bahkan, kini hampir tak ada lagi aktivitas kegiatan seperti rapat maupun seminar acara yang biasa dilakukan oleh kementerian/lembaga (K/L) seperti sebelumnya. “Rata-rata di [hotel] sini kan orang pemerintahan, karena adanya efisiensi anggaran buat kegiatan meeting dan seminar turun,” ujar Imam yang bekerja di salah satu hotel bintang lima kawasan Jakarta, Senin (17/2/2025). Imam khawatir, jika penurunan terjadi dalam jangka panjang dampaknya bisa kepada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meskipun sejauh ini, kata dia, belum ada informasi lebih lanjut dari pihak manajemen terkait dampak yang bersinggungan langsung dengan para karyawan imbas dari penurunan aktivitas kegiatan di hotelnya tersebut. “Sejauh ini belum ada yang dirumahkan. Kemungkinan kalau okupansi dan enggak ada kegiatan meeting atau seminar di hotel untuk pekerja lepas akan dirumahkan. Karena tidak terikat kontrak dengan perusahaan,” imbuh dia. Penurunan okupansi dan beberapa kegiatan di hotel, memang tidak lepas dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Dalam Inpres tersebut, Prabowo meminta seluruh K/L melakukan efisiensi belanja hingga Rp306,69 triliun. Rinciannya terdiri dari Rp256,1 triliun dari belanja K/L dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah (TKD). Inpres itu kemudian diperkuat dengan surat edaran bernomor S-37/MK.02/2025 yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Lewat surat edaran ini, Sri Mulyani mengatur beberapa pos anggaran belanja KL yang terdampak dari pemangkasan anggaran. Beberapa di antaranya adalah kegiatan seremonial 56,9 persen, rapat, seminar, dan sejenisnya 45 persen, diklat dan bimbingan teknis (bimtek) 29 persen, perjalanan dinas 53,9 persen, dan belanja lainnya 59,1 persen. Beberapa pos yang terdampak di atas, secara tidak langsung beririsan dengan industri perhotelan. Ini diperkuat dengan catatan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang mana tidak ada pesanan masuk dari kalangan pemerintah. Baik untuk meeting maupun kegiatan lainnya. Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, melihat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, memang menimbulkan kekhawatiran signifikan di kalangan pelaku industri perhotelan. Sebab, sektor ini masih bergantung pada kegiatan-kegiatan pemerintah. Anwar bilang, kontribusi dari perjalanan dinas dan kegiatan pemerintah terhadap pendapatan hotel bisa berkisar antara 40 hingga 60 persen. Di beberapa daerah bahkan dengan tingkat pariwisata yang kurang berkembang, ketergantungan terhadap kegiatan pemerintah bisa lebih tinggi. Jika kemudian sektor perjalanan dinas, rapat seminar biasa dilakukan di hotel-hotel dipangkas, maka dampaknya akan begitu terasa bagi industri hotel. “Sebagai contoh, di Kota Pasuruan, Jawa Timur, kebijakan efisiensi anggaran akhirnya menyebabkan penurunan okupansi hotel hingga 60 persen,” kata Anwar kepada Tirto, Senin (17/2/2025). Kemudian, Peneliti Next Policy, Dwi Raihan, menambahkan, pengusaha pada akhirnya memang harus menyesuaikan atau merumuskan strategi agar bisnis mereka tetap berjalan. Namun yang mengkhawatirkan adalah kebijakan tersebut justru menyebabkan penurunan pendapatan ke pemerintah khususnya Pemda hingga PHK pada pekerja yang terlibat. Pada dasarnya, lanjut Raihan, kebijakan efisiensi memang perlu dilakukan melihat kapasitas fiskal yang lemah. Namun kebijakan ini perlu dilakukan secara selektif. “Yang terpenting adalah pemerintah perlu melihat dampak dari kebijakan tersebut,” pungkas Raihan. (din/tik/tir)