Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyambut positif kebijakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, yang mengizinkan kembali pemerintah daerah menggelar rapat dan pertemuan di hotel maupun restoran. Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi BPP PHRI, Yuno Abeta Lahay, menilai keputusan tersebut sebagai angin segar bagi pelaku usaha yang terdampak kebijakan efisiensi belanja pemerintah sejak awal tahun. “Sejak terbitnya Inpres Nomor 1 Tahun 2025, kami di PHRI merasakan seperti direm mendadak. Pendapatan turun tajam, bahkan kuartal pertama tahun ini jadi yang terendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Yuno dikutip dari Selamat Pagi Indonesia Metro TV pada Senin, 9 Juni 2025. Yuno menjelaskan bahwa kebijakan efisiensi tersebut menyebabkan banyak hotel kehilangan pasar dari segmen pemerintah, yang selama ini menyumbang sekitar 52–53 persen pasar industri perhotelan nasional. Dari angka itu, sekitar 17–20 persen berasal dari kegiatan pemerintah daerah. Menurutnya, penurunan tajam pendapatan menyebabkan sejumlah hotel anggota PHRI melakukan pengurangan tenaga kerja hingga tidak memperpanjang kontrak karyawan. Bahkan, dua hotel di Kota Bogor dilaporkan tutup dan belum kembali beroperasi. Meskipun kebijakan Mendagri disambut baik, Yuno menyoroti pentingnya kepastian pelaksanaan kebijakan di tingkat daerah. Ia menyebut kuatnya kewenangan kepala daerah dalam sistem otonomi bisa membuat kebijakan pusat tidak selalu sejalan di lapangan. “Kami khawatir surat edaran dari Mendagri tidak inline dengan kebijakan kepala daerah masing-masing. Jangan sampai diizinkan oleh pusat, tapi dilarang oleh daerah,” ujarnya. PHRI juga meminta agar Kementerian Dalam Negeri segera mengeluarkan panduan teknis atau surat edaran resmi sebagai tindak lanjut dari pernyataan Mendagri. Menurut Yuno, hal ini penting agar pelaku usaha memiliki pegangan yang jelas. “Kalau hotel dan restoran hidup, pemerintah daerah juga punya pendapatan. Tapi perlu kejelasan, terutama soal pembagian kewenangan antara pemkot, pemkab, dan pemprov,” tegasnya. Yuno memperkirakan, jika kondisi belum pulih pada Juli atau Agustus, maka industri perhotelan akan menghadapi krisis lebih dalam. Ia menyebut istilah makan tabungan sudah mulai terjadi di kalangan pelaku usaha, dan potensi PHK massal semakin membayangi. “Kami berharap relaksasi ini segera diikuti implementasi nyata di daerah. Ini penting untuk menyelamatkan industri yang sedang berjuang bangkit,” pungkas Yuno. (Tamara Sanny)