TRIBUNJOGJA.COM - Pelonggaran aturan yang mengizinkan pemerintah daerah kembali menggelar rapat dan kegiatan dinas di hotel atau restoran disambut positif oleh pelaku industri perhotelan. Namun di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), euforia itu belum sepenuhnya terasa. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY mengingatkan, tanpa pelonggaran anggaran, kebijakan ini hanya akan jadi formalitas belaka. Ketua PHRI DIY, Deddy Pranowo, menyatakan bahwa lampu hijau dari pemerintah pusat akan sia-sia jika tidak disertai dengan realokasi atau pembukaan kembali anggaran kegiatan dinas di daerah. Sebab, aturan efisiensi anggaran yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 125 tentang Efisiensi Belanja Pemerintah masih berlaku ketat. “Kalau Pemda boleh (rapat di hotel) tapi tak punya anggaran, ya sama saja bohong,” ujarnya. Menurut Deddy, saat ini reservasi dari instansi pemerintahan masih sangat minim. Kalaupun ada, kemungkinan besar menggunakan sisa anggaran tahun lalu yang belum terkena pemangkasan. Ia menilai, dukungan fiskal yang konkret jauh lebih penting daripada sekadar pelonggaran administratif. Kondisi ini turut berdampak pada tingkat okupansi hotel yang masih jauh dari ideal, bahkan di tengah libur panjang Idul Adha. PHRI DIY mencatat, tingkat keterisian kamar hotel hanya berkisar antara 20–40 persen. Ini jauh lebih rendah dibandingkan libur Idul Fitri sebelumnya yang sempat mencapai 75 persen. Deddy menyebut keberadaan homestay dan vila yang lebih murah sebagai salah satu penyebab rendahnya okupansi hotel. Selain itu, properti-properti non-hotel ini kerap tidak dibebani regulasi ketat seperti pajak atau izin usaha yang dikenakan pada hotel berbintang.