TEMPO.CO, Jakarta - PT Bukit Uluwatu Villa Tbk (BUVA) mengatakan tren okupansi dua hotel yang perseroan kelola, yaitu Alila Ubud dan Alila Uluwatu Bali, hingga Mei 2025 menurun menjadi 53,8 persen dari 56,0 persen pada periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini dianggap sejalan dengan situasi ekonomi dunia yang terganggu dengan ancaman tarif oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Meski okupansi turun, Direktur Hendry Utomo mengatakan manajemen mengimbangi kondisi ini dengan menaikkan harga rata-rata kamar sekitar 11 persen. “Di lain pihak, penurunan dalam okupansi tersebut diimbangi dengan adanya kenaikan harga kamar rata-rata sekitar 11 persen sehingga pendapatan Perseroan masih dapat bertumbuh,” kata dia dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, dikutip Ahad, 15 Juni 2025. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Hendry mengatakan manajemen memperkirakan kondisi ini akan membaik di sisa tahun ini. Sejalan dengan itu, dia mengatakan perseroan belum ada rencana memperkuat kemitraan internasional untuk meningkatkan okupansi hotel. “Saat ini Perseroan belum memiliki rencana membangun kemitraan internasional lainnya,” kata dia. Meski demikian, Hendry mengatakan perseroannya saat ini juga sedang mengkaji rencana ekspansi dan memanfaatkan sisa lahan di kedua properti ini. Manajemen, kata dia, masih melihat potensi komersial maupun potensi pasar untuk mengembangkan fasilitas baru. Sebelumnya, telah tersiar kabar bahwa okupansi hotel di berbagai daerah menurun. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani membenarkan bisnis perhotelan saat ini sedang kesulitan mencapai target okupansi atau keterisian kamar mereka. Shinta mengusulkan adanya insentif atau diskon kepada para pelancong agar bisa mendorong okupansi hotel yang ambles ini. Selain potongan harga kepada pelancong, ia mengusulkan penurunan biaya pajak yang sebelumnya dikenakan ke hotel-hotel di Tanah Air.Namun, menurut dia, masalah ini masih bisa teratasi kalau pemerintah daerah dan pemerintah pusat memberikan atensi yang lebih bagi kelangsungan bisnis di sektor tersebut. “Ini sesuatu yang harus jadi perhatian pemerintah tentunya. Kondisinya ini sekarang sudah terjadi. Angka menunjukkan hampir semua hotel terkena dampak penurunan jumlah penghuni,” ucap Shinta saat ditemui di Balai Agung DKI Jakarta, Selasa, 27 Mei 2025.Menurut Shinta, bisnis perhotelan berkaitan dengan supply dan demand. Ketika ada tawaran yang menarik dari bisnis itu, pelanggan akan datang sendiri tanpa harus dicari.Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta juga telah menggelar survei untuk merekam kondisi perhotelan di kawasan DKI. Sigi itu mencatat penurunan tertinggi berasal dari segmen pemerintahan yang mencapai 66,7 persen. Kondisi ini, bahkan berpotensi membuat pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pada sektor perhotelan Tanah Air.Sebelumnya, Ketua PHRI Jakarta Sutrisno Iwanto mengatakan para pelaku bisnis hotel telah memperkirakan bakal ada pengurangan sebanyak 10 hingga 30 persen karyawan. Selain itu, sebanyak 90 persen pelaku usaha mempertimbangkan pengurangan terhadap 90 persen daily worker. Kemudian, sebanyak 36,7 persen lainnya mengaku akan melakukan pengurangan staf.Sutrisno mengungkapkan pemangkasan tenaga kerja dilakukan karena tingkat hunian jeblok sedangkan biaya operasional meningkat dan membebani keberlangsungan bisnis mereka. PHRI Jakarta mencatat sebanyak 96,7 persen bos hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian. “Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi kebijakan yang mendukung sektor pariwisata dan perhotelan, mereka akan terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan,” kata Sutrisno melalui keterangan tertulis, Senin, 26 Mei 2025.Lebih jauh, Sutrisno mengatakan industri hotel dan restoran selama ini telah berkontribusi besar terhadap pendapatan asli Jakarta dengan rata-rata sumbangan sekitar 13 persen. Ia menyatakan, berdasarkan data BPS pada 2023 terdapat lebih dari 603 ribu tenaga kerja yang bergantung pada sektor akomodasi dan makanan-minuman di Jakarta.Penurunan kinerja sektor ini diyakini membawa efek domino terhadap sektor lain seperti UMKM, petani, pemasok logistik, dan pelaku seni-budaya. Musabanya, sektor tersebut memiliki keterkaitan dengan industri perhotelan dan restoran. Menanggapi kondisi ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengizinkan seluruh pemerintah daerah kembali menggelar kegiatan hingga rapat di hotel dan restoran. Ia menjamin pemda bisa menggelar rapat di hotel dan restoran karena sudah berbicara langsung dengan Presiden Prabowo Subianto.Ia mengatakan pemerintah harus memikirkan hotel dan restoran yang hidup dari agenda pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran (MICE). Menurut dia, lapangan usaha perhotelan dan restoran memiliki karyawan yang tidak sedikit dan juga rantai pasok makanan serta minuman.Mantan Kapolri itu menyebutkan kegiatan rapat di hotel dan restoran dapat menghidupkan para produsen yang memasok barang ke hotel dan restoran.“Kurangi boleh, tetapi jangan sama sekali tidak ada, tetap laksanakan kegiatan di hotel dan restoran. Target betul hotel dan restoran yang kira-kira agak kolaps, buatlah kegiatan di sana supaya mereka bisa hidup,” ujar Mendagri saat menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Mataram pada Rabu, 4 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.Alfitria Nefi dan Alif Ilham berkontribusi dalam penulisan artikel ini.