Ilustrasi - Poster larangan merokok di area kawasan tanpa rokok (KTR) yang terdapat di Balai Kota Banda Aceh, Aceh. Antara/Nurul HasanahJAKARTA - PHRI DKI Jakarta menegaskan, Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang dibahas oleh DPRD DKI Jakarta memberatkan industri hotel, restoran dan kafe (horeka). Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono menyatakan, pasal-pasal dalam Raperda pembatasan rokok akan membebani kinerja industri terkait. Dirinya menyayangkan rencana tersebut kurang mengakomodasi kebutuhan industri hotel dan restoran yang selama ini sudah memberikan sumbangan Pemasukan Asli Daerah (PAD) sekaligus penyerapan kerja yang cukup tinggi.“Jangan lupa bahwa hotel dan resto juga telah turut menyumbangkan PAD bagi DKI Jakarta. Kontribusi ekonominya tinggi dan menyerap lebih dari 600 ribu tenaga kerja," sebutnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Rabu (18/6). Baca Juga: Menkes Minta Pemda Buat Perda Kawasan Tanpa RokokBerdasarkan survei PHRI pada April 2025, dia menekankan, sebanyak 96,7% hotel telah melaporkan penurunan tingkat hunian. Kondisi ini berdampak pada pengurangan karyawan dan efisiensi bisnis. "Harus disadari bahwa tamu hotel dan restoran itu didominasi oleh konsumen perokok. Kalau merokok dilarang total, tidak diperbolehkan sama sekali, maka ini kemunduran bagi kafe, restoran, dan hotel (horeka). Dampaknya luas,” tegasnya. Ketimbang langsung menerapkan total pelarangan merokok di kawasan-kawasan terkait, dia menyarankan pemangku kepentingan untuk melaksanakan studi banding dengan negara lain. Jika belum bisa, kebijakan alternatif yang lebih dinamis dapat diterapkan.“Studi banding lah di negara lain bahwa merokok masih diperbolehkan, namun dibatasi, diberi tempat tertentu. Bukan sampai dilarang total, sama sekali tidak boleh,” lanjutnya.Mengacu profil statistik DKI Jakarta, pasca pandemi covid-19 hingga Oktober 2023, PAD sektor wisata DKI Jakarta mencapai Rp5,39 triliun. Sebagian besar atau sekitar 61,32%-nya, PAD tersebut didapatkan dari pajak restoran, yakni sebesar Rp3,3 triliun. Sementara itu, PAD dari pajak hotel mencapai 28,25%, serta sisanya dari pajak hiburan sebesar 10,33% dan retribusi sebesar 0,09%. Baca Juga: Denda Rp50 Juta di Ranperda Kawasan Tanpa Rokok JakartaBila dibandingkan secara keseluruhan, PAD sektor wisata telah menyumbang 11,60% dari total PAD DKI Jakarta selama 2023, yakni sebesar Rp48,6 triliun. Karena itu, Iwantono berharap, agar pemangku kepentingan dapat memproses secara bertahap peraturan terkait. Jika tidak, kebijakan yang ada malah akan menganggu ekonomi, begitu pula dengan masyarakat."Kami mohon, tolong pelaku usaha dilibatkan dalam proses penyusunan Raperda KTR ini. Ini soal bagaimana dampaknya pada kemampuan hotel ke depan. Oleh karena itu, kami harus diajak diskusi,” paparnya. Dampak Ke MasyarakatSementara itu, Anggota Pansus KTR DPRD DKI Jakarta Inad Luciawaty juga mengutarakan kekhawatirannya atas dampak Ranperda KTR ini bagi kondisi ekonomi masyarakat. Menurutnya, pemangku kepentingan dapat memberikan alternatif, seperti kawasan khusus merokok.“Tidak menutup kemungkinan, bahwa memang harus ada kawasan khusus merokok. Tidak bisa dihilangkan atau dihapus total, karena memang masyarakat kita banyak perokok. Terutama di mal, resto dan kafe, harus ada kawasan khusus merokok," jelas Inad. Jika tidak diakomodasi, ketentuan yang ada akan membuat lokasi ekonomi seperti mal, resto dan kafe akan sepi pengunjung. Dia pun mencontohkan, kafe atau resto yang tidak menyediakan tempat atau fasilitas merokok akan sepi."Ini (penerapan KTR) harus perlahan, harus kita perhatikan ekonominya. Jangan sampai dengan ada perda ini, ekonomi kita turun. Makanya, ini harus jadi perhatian semuanya,” paparnya.Baca Juga: Merokok Di Karaoke Hingga Klub Malam Jakarta Bakal DilarangAnggota legislatif dari Dapil 10 DKI Jakarta ini mengingatkan, penyusunan Raperda KTR dapat mencontoh negara maju seperti Jepang dan Singapura yang menyediakan tempat khusus merokok. “Di Jakarta harusnya bisa dibikin seperti itu, jangan sampai semuanya jadi repot,” sebutnya. Anggota Fraksi PKS ini juga secara khusus menyoroti pasal mengenai larangan berjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan tempat pendidikan dan tempat bermain anak. Pasal larangan ini, menurut Inad, akan sulit diterapkan khususnya di kawasan padat pemukiman. “Bagaimana dengan sekolah di dekat pemukiman atau padat penduduk, termasuk di kawasan kumuh. Apakah memang bisa diterapkan? Ini pasti akan terjadi kucing-kucingan... Jangan sampai justru yang terjadi aksi sembunyi-sembunyi. Bagaimana teknis pengawasannya dan penerapan sanksi? Jangan sampai menimbulkan ekses negatif. Ini harus dipikirkan juga,” tambahnya.