Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Desak OTA Asing Ilegal Diblokir, PHRI: Pelaku Usaha Domestik Jadi Korban

JAKARTA, KOMPAS.com - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyoroti online travel agent (OTA) asing yang memanfaatkan celah hukum agar bisa beroperasi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah didesak segera mengambil langkah tegas, termasuk opsi pemblokiran. Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran menyebutkan bahwa ada celah legalitas OTA asing, yakni dengan tidak memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (SIUPMSE) karena tidak membentuk Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.Dengan begitu, OTA asing beroperasi secara bebas, bahkan menjadi wadah untuk menjual akomodasi ilegal yang merugikan industri pariwisata dalam negeri. Baca juga: 100 Karyawan Hotel di Bali Kena PHK, Menpar Minta Pemda Mulai Berkegiatan di Hotel Menurut dia, aktivitas OTA asing telah merugikan negara dari sisi penerimaan pajak, penciptaan lapangan kerja, hingga persaingan usaha. “Ini bukan hanya masalah legalitas, tapi soal kedaulatan ekonomi. Negara kehilangan potensi pajak, pekerja lokal kehilangan peluang kerja, dan pelaku usaha domestik jadi korban praktik persaingan tidak sehat,” ujar Maulana dalam siaran persnya, Kamis (19/6/2025). Padahal, sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, perusahaan asing yang beroperasi lebih dari 183 hari di Indonesia wajib mendirikan BUT sebagai dasar legalitas dan kewajiban pajak.Namun, hal ini sepertinya luput dari perhatian pemerintah. PHRI menilai Kementerian Pariwisata (Kemenpar) tidak cukup responsif terhadap masalah yang sudah disuarakan sejak 2016. Maulana menyayangkan fokus kementerian hanya pada promosi dan investasi, tanpa membenahi fondasi hukum dan pengawasan industri. “Kita sudah sampaikan berkali-kali dalam berbagai forum resmi. Tapi pemerintah seperti menutup mata. Sudah waktunya negara bertindak tegas, termasuk memblokir OTA asing ilegal jika mereka tetap mengabaikan regulasi,” ujarnya. Maulana juga menilai regulasi yang ada, seperti Permendag Nomor 31 Tahun 2023, perlu direvisi agar mencakup aturan terkait pelayanan jasa secara digital. Ia menyayangkan sikap Kemenpar yang dinilai tidak cukup peduli dengan isu OTA asing dan melemparkan tanggung jawab ke Kementerian Informasi dan Digital (Komdigi) atau Kemendag. “Kita sudah punya sistem perizinan berusaha yang cukup lengkap, tapi implementasinya lemah. Pemerintah sebagai regulator seakan membiarkan pelanggaran terjadi. Yang dikejar hanya pelaku usaha yang sudah tertib, bukan yang liar,” katanya. Dirinya pun menyoroti lemahnya pengawasan terhadap praktik penjualan akomodasi ilegal yang biasa terjadi di berbagai platform digital dan media sosial. Iklan bisnis yang beredar seharusnya diawasi ketat, tidak hanya demi perlindungan konsumen, tetapi juga untuk menjaga ketertiban ruang, keamanan, serta pendapatan asli daerah (PAD) dari pajak sektor pariwisata.