Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Riau, NofrizalPEKANBARU – Sektor perhotelan di Provinsi Riau menunjukkan geliat optimisme baru seiring meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) dan digelarnya sejumlah event berskala nasional. Namun di balik angin segar itu, problem klasik kembali muncul ke permukaan: infrastruktur yang belum sepenuhnya memadai. Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Riau, Nofrizal, menilai perbaikan infrastruktur menjadi prasyarat mutlak untuk menopang pertumbuhan industri perhotelan dan pariwisata di daerah. “Kalau daerah ramai, hotel pasti ikut ramai. Tapi bagaimana orang mau datang kalau jalannya buruk, fasilitas tidak mendukung, bahkan rawan banjir?” ujar Nofrizal saat dijumpai Goriau di ruangan Fraksi PAN DPRD Pekanbaru, Kamis (3/7/2025). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Riau, jumlah kunjungan wisman pada Mei 2025 meningkat sebesar 32,37 persen dibandingkan bulan sebelumnya, dari 17.722 kunjungan menjadi 23.459 kunjungan. Angka ini menjadi sinyal positif bagi pelaku usaha di sektor perhotelan yang sempat terpukul dalam beberapa tahun terakhir. Namun, peningkatan kunjungan tersebut belum sepenuhnya dirasakan secara merata di lapangan. Menurut Nofrizal, banyak hotel belum bisa memanfaatkan data itu secara maksimal karena kurangnya integrasi dan pembaruan informasi antarwilayah. Kritik Serius soal Infrastruktur Pernyataan Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat, yang menyebut infrastruktur sebagai tantangan utama pariwisata Riau, dibenarkan oleh Nofrizal. “Infrastruktur itu bukan cuma jalan, tapi juga akses transportasi, kenyamanan, bahkan drainase. Kalau daerah rawan banjir, siapa yang mau menginap di situ?” ujarnya. Ia mencontohkan minimnya kesiapan akomodasi saat event besar seperti Pacu Jalur di Kuansing yang hanya berlangsung setahun sekali. Karena investasi hotel besar tidak realistis, maka satu-satunya opsi adalah penguatan homestay masyarakat. “Tidak perlu hotel mewah, cukup rumah-rumah warga yang digiatkan untuk jadi homestay. Itu solusi paling mungkin,” ucapnya. Hal serupa juga terjadi di lokasi wisata alam seperti Bono, yang memiliki potensi besar namun belum didukung infrastruktur dasar. Bahkan, untuk menjangkau lokasi saja sudah menjadi tantangan tersendiri. Menurut Nofrizal, ekosistem perekonomian tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Ia mengkritik minimnya kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah, yang justru menjadi penghambat kemajuan daerah. “Pemerintah jangan jalan dengan egonya, swasta dengan caranya sendiri. Kalau tidak bertemu, ekonomi tidak akan tumbuh,” kata dia. Nofrizal menegaskan bahwa sektor swasta sejatinya menopang pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak dan retribusi. Sebaliknya, pemerintah harus mengembalikan pemasukan itu dalam bentuk kegiatan yang menggerakkan perekonomian masyarakat. “Kalau ekonomi lesu, PAD pasti turun. Jangan berharap di tengah kelesuan, pihak swasta disuruh nyari sumber baru. Itu cerita bohong ,” sindirnya. Jalan Tol dan Harapan Pariwisata Meski demikian, Nofrizal tetap menaruh harapan pada pembangunan jalan tol sebagai pendorong utama mobilitas wisatawan. Salah satu proyek yang ia soroti adalah Tol Riau–Sumbar. “Kalau jalan tol ke Payakumbuh itu jadi, pariwisata bisa meledak. Wisatawan bisa pulang-pergi dengan nyaman. Aktivitas pun lebih terukur,” katanya. Ia menuturkan, kehadiran tol memberi kepastian waktu dan kenyamanan perjalanan, dua faktor krusial dalam industri pariwisata modern.“Dulu dari Pekanbaru ke Bukittinggi bisa sampai tengah malam. Sekarang berangkat pagi, sore sudah sampai dan masih fresh. Itu yang dibutuhkan dunia usaha,” tandasnya. ***