Wisata edukasi di Gunungkidul diharapkan dongkrak lama tinggal. (Ef Linangkung) bernasnews – Industri perhotelan di Bumi Handayani kembali menampilkan gairah positif meski belum sepenuhnya bangkit. Liburan sekolah periode Juni hingga Juli 2025 berhasil memicu kenaikan tingkat hunian kamar hotel dan penginapan di seluruh wilayah Gunungkidul. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Gunungkidul, Sunyoto, mengungkapkan momen libur panjang, termasuk long weekend Tahun Baru Islam pekan lalu, menjadi pemantik awal kebangkitan okupansi hotel. Ia menegaskan banyak wisatawan mulai memilih Gunungkidul sebagai destinasi utama liburan sekolah tahun ini. “Libur long weekend pekan lalu dan libur sekolah kali ini berpengaruh pada peningkatan okupansi hotel,” ujar Sunyoto, Senin, 7 Juli 2025. Sunyoto menyebut rata-rata okupansi hotel di Gunungkidul kini berkisar antara 30–50 persen. Beberapa hotel bahkan berhasil mencatat okupansi hingga 70 persen pada puncak akhir pekan. “Angka rata-rata memang segitu, tapi ada hotel yang bisa tembus 70 persen,” terangnya. Namun, ia menegaskan tantangan besar tetap mengadang. Kebijakan larangan study tour dari sejumlah daerah, khususnya sekolah-sekolah di Jawa Barat, memukul keras pasar rombongan pelajar yang selama ini mendominasi okupansi hotel Gunungkidul. “Kalau dari sekolah-sekolah Jawa Barat memang nggak ada kunjungan. Tapi wisatawan individu atau keluarga di luar rombongan sekolah masih ada,” jelasnya. Ia mengungkapkan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih juga menahan laju kenaikan okupansi hotel. Wisatawan rata-rata hanya menginap satu malam, meski beberapa tetap memilih longstay untuk menikmati keindahan pantai selatan, wisata Goa Pindul, hingga deretan desa wisata. “Untuk longstay ya lumayan, tapi belum maksimal,” imbuh Sunyoto. Di sisi lain, Kepala Bidang Destinasi Pariwisata Dinas Pariwisata Gunungkidul, Supriyanta, menegaskan kunjungan wisatawan belum sepenuhnya selaras dengan okupansi dan durasi longstay. Ia menilai wisatawan masih menjadikan Gunungkidul sebagai destinasi one-day tour. “Sebagian besar wisatawan masih memilih one-day tour dari Jogja, jadi tidak menginap,” tegas Supriyanta. Ia menyebut wisatawan yang menginap di hotel maupun homestay tetap didominasi wisatawan domestik. Gunungkidul belum berhasil menarik wisatawan mancanegara dalam jumlah signifikan karena terbatasnya fasilitas akomodasi berstandar internasional. “Belum semua objek wisata juga dikelola profesional dan ramah wisatawan mancanegara,” ungkapnya tanpa ragu. Namun demikian, Supriyanta tetap menyalakan optimisme. Ia yakin tren longstay akan meningkat jika desa wisata terus dikembangkan berbasis pemberdayaan masyarakat atau community-based tourism. Infrastruktur, transportasi, digitalisasi, dan kualitas SDM menurutnya menjadi kunci utama untuk menaikkan lama tinggal wisatawan di Gunungkidul. “Kalau infrastruktur, transportasi, digital, dan SDM semakin ditingkatkan, saya yakin okupansi hotel akan naik lebih tinggi,” tutup Supriyanta dengan nada penuh keyakinan. Industri perhotelan Gunungkidul saat ini menunggu gebrakan besar untuk membalikkan keadaan. Para pelaku wisata berharap wisatawan tak sekadar singgah, melainkan menetap lebih lama dan menghidupkan denyut ekonomi rakyat Bumi Handayani. (el)