Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Pendapatan Hotel dan Restoran Menurun 70 Persen

PHRI Minta Pemda Segera Gelar Event di Hotel dan Restoran KUPANG, TIMEXKUPANG.FAJAR.CO.ID- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badan Pengurus Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur, mencatat bahwa pendapatan hotel dan restoran di Provinsi NTT menurun hingga 70 persen, akibat adanya kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Namun begitu, PHRI pun menyambut baik adanya kebijakan dari Menteri Dalam Negeri, yang memperbolehkan Pemerintah daerah untuk melaksanakan acara di restoran dan hotel, dengan catatan acara tersebut tidak berlebihan. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia, Provinsi NTT, BPD NTT, Juvenile Jodjana mengatakan, bahwa PHRI sangat bersyukur dan berterima kasih kepada pemerintah pusat, yang mulai membuka atau melonggarkan aturan untuk menggelar acara di restoran atau Hotel. "Karena memang aturan ini masih baru, sehingga dampaknya belum dirasakan secara umum, namun dengan adanya kelonggaran dari Menteri Dalam Negeri ini, sangat disambut baik oleh pihak PHRI," katanya. Dia berharap agar satu atau dua bulan ke depan, kegiatan acara-acara di hotel dan restoran sudah mulai dilaksanakan lagi, dan dampaknya sudah bisa dirasakan. "Kami juga sangat bersyukur karena memiliki Badan Pengurus Pusat PHRI, dalam hal ini Ketua BPP PHRI, yang selalu bersuara agar kegiatan-kegiatan Pemerintah itu segera dilaksanakan di restoran atau hotel, karena jika efisiensi terus dilakukan tanpa ada ruang, maka akan sangat berdampak pada pendapatan hotel dan restoran," jelasnya. Khusus untuk di Provinsi NTT, kata Juvenile Jodjana, hotel dan restoran bergantung 70 persen pada event-event pemerintah. Dengan adanya efisiensi anggaran yang dilakukan, sangat berdampak sekali pada hotel dan restoran, yang saat ini dapat dilihat sendiri bahwa kondisi hotel dan restoran sangat sepi pengunjung, dan kurangnya event, yang tentunya sangat mengganggu operasional hotel dan restoran. "Kalau dilihat dari angka perbandingan tahun sebelumnya dan tahun ini, hotel dan restoran mengalami penurunan sebesar 70 persen, karana kontribusi pemerintah terhadap hotel dan restoran itu sebesar 70 persen, kalau dibatasi atau ditiadakan maka dampaknya juga besar hingga 70 persen juga," ungkapnya. Juvenile Jodjana mengatakan, bahwa banyak karyawan hotel dan restoran pun melakukan efisiensi dan termasuk pengurangan tenaga kerja, dan akhirnya berdampak pada daya beli masyarakat juga. Dia berharap pemerintah daerah segera memulai event-event yang sudah direncanakan, tentunya pemerintah juga menunggu kran-kran itu dibuka dari pemerintah pusat. Pengamat Ekonomi Universitas Nusa Cendana (Undana), Ricky Ekaputra Foeh, M.M, juga menanggapi kebijakan kelonggaran pelaksanaan acara pemerintahan di hotel dan restoran dari perspektif manajemen kebijakan publik dan dinamika dunia usaha. Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran yang sebelumnya diterapkan pemerintah, memang bertujuan mulia, yaitu mengurangi pengeluaran yang dianggap kurang prioritas, terutama untuk perjalanan dinas, rapat luar kantor, dan kegiatan seremonial. "Namun, kita juga harus menyadari bahwa kebijakan publik memiliki konsekuensi ekonomi yang luas. Ketika sektor perhotelan dan restoran – yang selama ini menjadi mitra penting pemerintah – terdampak hingga 70 persen (seperti diklaim PHRI), maka ada efek domino terhadap tenaga kerja, UMKM, dan ekonomi lokal," ungkapnya. Dalam konteks administrasi bisnis, kata dia, peran pemerintah sebagai fasilitator ekosistem bisnis sangat krusial. Maka, kelonggaran yang kini diberikan oleh Mendagri merupakan bentuk adaptasi kebijakan yang responsif, demi menjaga keseimbangan antara prinsip efisiensi dan keberlangsungan dunia usaha. Dia menjelaskan, pemerintah adalah salah satu konsumen terbesar dalam sektor jasa. Dalam teori administrasi bisnis publik, hal ini menempatkan pemerintah sebagai aktor penggerak (enabler) dalam rantai ekonomi lokal. Oleh karena itu, menutup pintu belanja pemerintah secara drastis tanpa solusi alternatif akan memukul pasar. Kelonggaran ini, jika dikelola secara profesional dan akuntabel, dapat menjadi peluang untuk menghidupkan kembali sektor hospitality, sekaligus menjadi bukti bahwa pemerintah hadir dalam mendukung keberlangsungan bisnis. Namun tentu saja, sebagai akademisi, dia menekankan bahwa kelonggaran ini harus diikuti dengan pengawasan yang ketat, dan sistem akuntabilitas yang baik. Jangan sampai kebijakan ini dimanfaatkan untuk pemborosan atau pengeluaran yang tidak produktif. Dia menyarankan agar pemerintah daerah menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas. Melibatkan pelaku industri dalam penyusunan pedoman teknis, sehingga ada mutual understanding. Memastikan bahwa belanja pemerintah membawa nilai tambah ekonomi, bukan sekadar konsumtif. "Kelonggaran ini adalah respons positif terhadap tekanan ekonomi yang dialami sektor perhotelan. Namun, keberhasilannya sangat ditentukan oleh tata kelola yang transparan, kolaboratif, dan terukur. Pemerintah harus hadir sebagai penggerak sekaligus penjaga integritas belanja publik," tandasnya. (thi/dek)