Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Ketua MK Disomasi Mundur, Putusan MK dianggap Penyelundupan Hukum - Radar Depok

RADARDEPOK.COM - Kritik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuat norma baru dalam syarat calon presiden dan wakil presiden terus memantik kritik.Bukan hanya dari elemen masyarakat sipil, kritik juga datang dari Yusril Ihza Mahendra yang notabene salah satu Ketua Umum Partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM).Yusril menerangkan, meski saat ini berstatus Ketua Umum Partai Bulan Bintang yang sudah menetapkan dukungan politiknya, dirinya tidak bisa melepaskan jati diri sebagai akademisi. Melihat putusan MK, Yusril mengakui banyak kecacatan. Baca Juga: Erick Unggah Foto Bareng Prabowo, Netizen: AdemYusril menjelaskan, diktum putusan MK sangat problematik. Sebab, diktumnya menyatakan pasal menyatakan umur 40 tahun itu bertentangan dgn uud 45 kecuali dimaknai pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.Padahal jika ditelisik lebih dalam, hanya tiga hakim yang bersepakat dengan putusan itu. Dalam pandangan Yusril, Concurring Opinion yang disampaikan Hakim Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic masuk dalam dissenting opinion.Sebab, yang disetujui keduanya adalah minimal berpengalaman sebagai Gubernur. "Jadi sebenarnya ada 6 hakim tidak setuju dengan putusan itu (bupati/walikota bisa nyapres) dan hanya tiga hakim yang setuju," ujarnya dalam diskusi di Jakarta kemarin. Baca Juga: Dari Singapura, Luhut Puji Erick Karena Sanggup Atasi Tugas Menko Marves Secara MaksimalOleh karenanya, diktum tersebut dinilai bermasalah. Sebab, tiga hakim bisa mengalahkan enam. Dalam kacamata hukumnya, MK telah melakukan kesalahan fatal."Saya kira ini bisa yang ada penyelundupan hukum di dalamnya, bisa ada kesalahan, tidak nyambung dalam putusannya," jelasnya.Sebagai anggota Koalisi KIM, Yusril menyebut akan menyampaikan pendapat itu kepada Prabowo Subianto. Namun jika Prabowo tetap memilih Gibran Rakabuming, dia siap mengikuti. Paling tidak, Yusril sudah mengingatkan. Baca Juga: Konstitusi Diakali, Nasib Rakyat Dipermainkan Demi Nafsu Kekuasaan Pimpinan Komisi II DPR RI ikut merespon putusan MK. Wakil Ketua Komisi II Yanuar Prihatin mengatakan, putusan MK ini terkesan sangat dipaksakan, seperti mencari celah untuk akomodir cawapres tertentu. “Kepentingan politik terasa lebih kuat ketimbang supremasi hukum,” terangnya kemarin. Menurutnya, batas usia minimal 40 tahun sama sekali tidak diatur dalam konstitusi. Bahkan syarat-syarat lain pun bagi capres dan cawpares tidak ditegaskan dalam konstitusi. Ini artinya, konstitusi menyerahkan semua soal itu kepada pembuat undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. MK memang tetap mempertahankan usia 40 tahun bagi capres dan cawapres sebagaimana diatur dalam UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Namun dengan menambahkan alternatif sebagai norma baru menjadi jelas posisi MK bukan lagi penjaga konstitusi, tapi sudah tergelincir dalam kompetisi politik. Baca Juga: MK Tolak Gugatan, PAN Sebut Peluang Erick Thohir Jadi Cawapres Prabowo Kian Terbuka Putusan MK menyebutkan bahwa syarat capres/cawapres adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.“Pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemiliihan umum dan pemilihan kepala daerah adalah norma baru yang tidak pernah diatur dalam UU Pemilu,” beber politisi PKB itu. Yanuar mengatakan, norma baru itu bentuk kreatiiftas berpikir yang kebablasan, sehingga terkesan dipaksakan. Maka wajar saja tidak semua hakim MK menyetujui bulat putusan itu, karena dianggap "aneh" dan "di luar nalar." Baca Juga: Dampingi Jokowi ke China, Erick Thohir: Prospek Kereta Cepat Sampai SurabayaEmpat hakim menolak, dan lima hakim setuju. Dua hakim yang setuju itupun membatasi kepala daerah yang dimaksud hanya selevel gubernur, bukan bupati/walikota. Dia mengatakan, MK melampaui kewenangannya soal syarat capres/cawapres yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang. “Ini preseden buruk bagi kewibawaan dan kehormatan MK,” ungkap YanuarNamun, kata dia, putusan MK ini bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada pilihan harus dilaksanakan. Hanya saja, putusan itu memerlukan revisi UU Pemilu untuk menjadi pedoman KPU dalam pendaftaran capres/cawapres. Baca Juga: Tidak Terpengaruh Kampanye Negatif, Instansi Pemerintah Masih Andalkan Air Kemasan Galon Polikarbonat Yanuar menegaskan, waktu sudah sangat mepet. Pendaftaran capres/cawapres dibuka 19-25 Oktober 2023. Sepanjang belum ada perubahan UU Pemilu, maka Putusan MK tersebut belum bisa dijadikan acuan. Maka, KPU sebaiknya tetap berpedoman pada UU yang masih berlaku. Kemungkinan besar, lanjut Yanuar, mekanisme perubahan UU Pemilu akan ditempuh melalui Perppu. Presiden akan mengeluarkan Perppu untuk menindaklanjuti putusan MK.“Perppu sebagai upaya yang paling mungkin ditempuh pemerintah. Presiden kan sudah biasa mengeluarkan perppu,” ungkapnya. Baca Juga: Putusan MK Prank Rakyat Indonesia, Peluang Gibran Cawapres Terbuka Ini Sejumlah Alasannya  Yanuar menegaskan bahwa Komisi II tidak mempunyai cukup waktu untuk melakukan revisi UU Pemilu sebagai tindaklanjut putusan MK. Sampai saat ini belum ada pembahasan di internal Komisi II untuk merevisi UU Pemilu. “Pimpinan Komisi II belum ada komunikasi. Kami masih sibuk di dapil,” tegas dia.Terpisah, protes keras juga disampaikan oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa seluruh Indonesia (BEM SI). Koordinator Media BEM SI 2023 Ragner Angga MHJ mengungkapkan, ada dugaan persengkokolan untuk melanggengkan kekuasaan.Ini terlihat jelas dari keputusan MK pada 16 Oktober 2023 tentang syarat usia 40 tahun atau pernah menjabat sebagai Gubernur boleh menjadi Capres-Cawapres. Disetujuinya aturan tersebut dinilai seperti karpet merah untuk anak Presiden Jokowi mendapatkan kekuasaan. Baca Juga: Pengelolaan Sampah Taman Safari Bogor Dilirik PHRI, Bakal jadi PercontohanMK juga dinilai telah terjebak dalam pusaran politik yang sangat mencederai demokrasi dan konstitusi. ”Hal ini sarat akan persengkokolan jahat antara lembaga eksekutif dan yudikatif demi mewujudkan Politik Dinasti,” ungkapnya.Terlebih, Ketua MK yang menyetujui Judicial Review aturan pencalonan Capres-Cawapres merupakan ipar Presiden Jokowi. ”Jadi sampai sini sudah terlihat siapa dalangnya,” sambungnya. Menurutnya, rezim Jokowi seolah tak ada habisnya membuat masalah dan membuat masyarakat kecewa. Selama 9 tahun berkuasa banyak tanah rakyat yang dirampas, kekerasan aparat yang tak terhentikan, pelanggaran HAM yang tidak tuntas pengusutannya dan bahkan terus berulang, dan hal-hal lainnya yang merusak tatanan negara. Baca Juga: Cari Tersangka Kasus Dugaan Pemerasan eks Mentan SYL, Polisi Periksa Ajudan Ketua KPK Firli BahuriKarenanya, kata dia, para mahasiswa akan turun ke jalan untuk mengevaluasi kepemimpinan Mantan Walikota Solo tersebut. Diperkirakan, bakal ada 2 ribu mahasiswa dan elemen masyarakat yang akan demo di depan Istana Negara pada Jumat (20/10), pukul 14.00 WIB nantinya. ”Kami dari aliansi mahasiswa mengajak kalangan mahasiswa dan masyarakat dari semua elemen untuk melakukan aksi di Istana Negara yang bertujuan mengevaluasi kinerja 9 tahun Jokowi,” ungkapnya. Terpisah, putusan MK dinilai melanggar pidana dan kode etik. Setidaknya terdapat tiga dugaan pelanggaran dalam putusan tersebut, yakni conflict of interest, nepotisme dan manipulasi putusan.  Baca Juga: Akhir Oktober 2023, Penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara Dialihkan ke Bandara Kertajati, ini RutenyaKoordinator Persatuan Advokat Nusantara Petrus Selestinus menuturkan, pihaknya sebelumnya telah melayangkan somasi ke Ketua MK Anwar Usman untuk mengundurkan diri dari tujuh perkara uji materi batas usia capres cawapres.Setelah menghadiri sidang putusan MK, ternyata enam putusan menolak dan satu putusan diterima. "Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu banyak kejanggalan yang kami terima," paparnya. Seperti diketahui Anwar Usman merupakan paman dari Gibran Rakabuming Raka. Dengan kondisi itu menunjukkan adanya kepentingan yang mengarah ke conflict of interest, seharusnya sejak awal Anwar mundur dari persidangan karena berkepentingan. Baca Juga: Wilmar Dukung Pemrov Sumsel Kendalikan KarhutlaSebab, sesuai pasal 17 Ayat 5 Undang-Undang (UU) Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. "Dalam Ayat 5 disebut seorang hakim wajib mengundurkan diri bila berkepentingan langsung dan tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa," jelasnya. Dalam ayat 6 Pasal 17 UU yang sama, disebutkan bahwa dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud ayat 5, maka putusan dianggap tidak sah dan hakim dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai perundang-undangan. "Jadi ada ancaman hukuman pidananya," tegasnya. Hubungan paman dan keponakan antara Anwar dengan Gibran juga memperkuat dugaan adanya nepotisme. Dia menerangkan bahwa pihaknya akan melaporkan dugaan perbuatan nepotisme sesuai Pasal 5 UU 28/1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme. "Ancaman hukumannya 12 tahun penjara," paparnya.  Baca Juga: Ketua DPRD Kabupaten Bogor Rudy Susmanto Memprediksi APBD Tahun 2024 naik menjadi Rp10 TriliunDia menjelaskan, dalam putusan MK dengan perkara nomor 90 itu juga menunjukkan adanya manipulasi putusan. Sebab, terdapat tiga kubu hakim sebenarnya, empat hakim menolak, dua hakim memaknai berpengalaman sebagai gubernur serta menyatakan perubahan batas usia wewenang DPR, dan tiga hakim setuju."Seharusnya putusan MK tidak bisa menerima karena hakim terbelah dalam tiga kubu," jelasnya. Namun, Anwar Usman justru memasukkan dua hakim menjadi setuju. Sehingga, secara terang benerang Ketua MK diduga melakukan pelanggaran masif dan terstruktur. "Karena itu kami akan laporkan ke Dewan Kehormatan MK dan Bareskrim untuk pidananya," tuturnya.  Baca Juga: Transformasi PSSI Dinilai Sukses, Erick Thohir Layak Maju CawapresSementara Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan bahwa memang dalam putusan MK itu hanya tiga hakim yang setuju kepala daerah dari gubernur, bupati dan wali lota diperbolehkan jadi capres cawapres.Lalu, dua hakim setuju dengan syarat gubernur diperbolehkan jadi capres cawapres dan empat hakim tidak setuju. "Artinya, seharusnya putusan enam hakim menolak dan tiga hakim setuju," ujarnya. Dia mengatakan, putusan MK ini harus dipertegas dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umim (PKPU) bahwa batas usia capres dan cawapers usia 40 tahun atau berpengalaman sebagai gubernur. "Untuk Bupati dan wali kota dilarang karena MK tidak menyebut secara eksplisit," paparnya.***