JAKARTA, KOMPAS.com — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bicara tentang dampak kewajiban royalti untuk kafe, hotel, hingga mal. Selain itu, PHRI juga mengkritik cara kerja Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang disebut ugal-ugalan.Kompas.com merangkum pernyataan PHRI sebagai berikut. Baca juga: PHRI Ungkap Dampak Royalti Musik pada Restoran dan Hotel • Hotel hingga restoran sepi musik Ketua Umum PHRI, Haryadi B. Sukamdani, merespons fenomena restoran, kafe, hotel, hingga mal yang kini sepi dari lagu akibat royalti musik. Haryadi menyebut, PHRI memang memberi imbauan kepada kafe hingga hotel terkait kewajiban membayar royalti. Hasilnya, kini para pelaku usaha tersebut memilih untuk tidak memutar lagu demi menghindari royalti. “Kami berikan arahan, kalau kalian mau putar lagu harus bayar. Tapi kalau merasa berat, ya jangan putar. Karena ada yang keperluannya, silakan. Mau pakai model platform digital juga boleh, atau dia bayar ke konvensional, ke LMKN,” kata Haryadi saat ditemui di Grand Sahid Jaya, daerah Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (13/8/2025). Dalam kesempatan itu, Haryadi juga menyinggung LMKN yang kini menagih hotel-hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Baca juga: Sindiran Hakim MK soal Royalti Musik: Kalau Begitu, Ahli Waris WR Supratman Paling Kaya di IndonesiaHaryadi berujar, hal itu justru semakin membuat para pelaku usaha di sana malas memutar lagu. “Tapi di lapangan, saya baru telepon Ketua PHRI Lombok, mereka kehilangan mood-nya, terutama yang kecil-kecil (menyetel lagu). Jadi senyap,” ungkap Haryadi. • Kritik cara kerja LMKN Haryadi mengkritik cara penarikan royalti LMKN yang dinilai ugal-ugalan. Menurut Haryadi, salah satu praktik yang tidak sesuai adalah memungut royalti sejak Undang-Undang Hak Cipta 2014 disahkan, tanpa meninjau kembali apakah suatu lagu diperdengarkan di restoran atau hotel. “Memang gaya preman. Mereka, LMK ataupun LMKN, itu menarik mundur tagihannya sejak UU Hak Cipta berlangsung. Namun, namanya kontrak itu kan harus ada invoice, perjanjian berlaku. Itu tidak ada,” tutur Haryadi. Baca juga: Velodiva, Solusi Baru LMKN Atasi Polemik Royalti Musik Salah satunya terjadi baru-baru ini di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), di mana pelaku usaha hotel di sana kaget ketika mendapat surat tagihan royalti musik. “Modelnya benar-benar ugal-ugalan. LMK maupun LMKN tidak ada perwakilan di Lombok. Jadi teman-teman anggota PHRI marah, minta dijelaskan,” ungkap Haryadi. • Bakal diskusi dengan AKSI hingga VISI Haryadi mengatakan, pihaknya berencana menggelar pertemuan dengan Asosiasi Komposer Indonesia (AKSI) dan Vibrasi Suara Indonesia (VISI) untuk membahas polemik royalti.