Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

PHRI Minta Penghapusan Pasal Pidana UU Hak Cipta untuk Cegah Kasus Mie Gacoan

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mendesak pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Hak Cipta guna menghindari terulangnya kasus serupa seperti yang dialami Mie Gacoan Bali. Beberapa waktu lalu, Mie Gacoan terlibat dalam kasus pelanggaran hak cipta yang berujung pada laporan pidana terkait penggunaan musik di tempat usahanya. Kasus ini menyoroti dampak negatif dari pasal yang mengatur hukuman pidana dalam undang-undang tersebut. Kasus Mie Gacoan dimulai ketika Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melaporkan Direktur Mie Gacoan Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, setelah ditemukan dugaan pelanggaran hak cipta. Mie Gacoan akhirnya sepakat membayar royalti sebesar Rp2,2 miliar untuk menyelesaikan masalah tersebut, namun Ketua PHRI, Haryadi Sukamdani, berpendapat bahwa langkah pelaporan pidana tidak seharusnya dilakukan. Ia menyebutkan, “Saya rasa perlu segera ada revisi UU Hak Cipta. Saya rasa tak perlu ada pasal yang menyangkut pidana, karena ini sebetulnya ranahnya perdata.” Haryadi juga menekankan perlunya penjelasan lebih lanjut terkait royalti yang diberlakukan bagi kafe dan restoran. Sekjen PHRI, Maulana Yusran, menambahkan bahwa perbedaan tarif royalti antara bisnis yang menggunakan musik sebagai menu utama, seperti konser dan karaoke, dengan yang menggunakan musik sebagai ambience di restoran dan hotel harus dikategorikan dengan tegas. “Kita minta kejelasan soal tarif bisnis yang menggunakan musik sebagai menu utama semisal konser, karaoke dengan bisnis yang menggunakan musik sebagai ambience,” ungkapnya. Maulana juga mengingatkan tentang pentingnya promosi bagi pencipta lagu. Ia mengemukakan, “Pencipta lagu juga kan membutuhkan tempat tersebut untuk mempromosikan lagu mereka.” Berdasarkan pandangannya, adanya kesulitan dalam memberikan royalti akan menghambat promosi lagu-lagu baru, yang pada akhirnya dapat memengaruhi industri musik secara keseluruhan. Menurut PHRI, dengan regulasi tarif yang lebih jelas dan distribusi royalti yang transparan, para anggota siap untuk taat membayar. “Kami juga mendorong penggunaan platform digital yang menjamin transparansi dan lebih adil,” ujar Haryadi. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan ekosistem yang lebih sehat bagi semua pihak yang terlibat dalam industri musik dan hiburan. Sosialisasi kepada para pengguna juga dianggap sangat penting oleh PHRI. Dengan memberikan pemahaman yang tepat kepada pemilik restoran dan tempat hiburan lainnya mengenai kewajiban mereka terhadap hak cipta, diharapkan kasus serupa tidak akan terulang di masa mendatang. PHRI menekankan bahwa perubahan dalam undang-undang ini akan membantu menciptakan lingkungan bisnis yang lebih adil dan menguntungkan bagi semua pihak. Keinginan untuk melihat perbaikan dalam UU Hak Cipta mencerminkan harapan PHRI akan keberlanjutan industri hotel dan restoran di Indonesia, serta perlindungan yang lebih baik bagi pencipta lagu dan pemilik hak cipta. Dalam konteks ini, peran pemerintah dan lembaga terkait menjadi krusial. Mereka diharapkan dapat mendengarkan aspirasi PHRI dan pihak lainnya untuk menyusun regulasi yang lebih sesuai dengan kebutuhan industri, tanpa mengorbankan hak-hak pencipta. Menyusun regulasi yang memperhatikan konteks penggunaan musik dalam berbagai jenis bisnis akan menjadi tantangan, namun juga peluang untuk menciptakan keseimbangan. Dengan langkah-langkah yang konkret dan kerjasama antara semua pihak, diharapkan industri hiburan dapat berkembang dengan tetap menghargai karya dan hak cipta. PHRI berkomitmen untuk mendorong praktik-praktik yang lebih baik demi masa depan industri ini, serta menjaga agar hak-hak pencipta lagu tetap terlindungi.