MALANG POST – Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Batu angkat suara soal polemik penarikan royalti lagu dan musik. Mereka meminta pemerintah segera merevisi Undang-Undang dan aturan turunan yang dinilai masih simpang siur di lapangan. Pemicunya adalah kewajiban membayar royalti yang diberlakukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Menurut Ketua PHRI Kota Batu, Sujud Hariadi, mekanisme yang ada sekarang kerap membingungkan. “Kalau mau adil, aturannya harus diperjelas. Jangan sampai pelaku usaha yang hanya memutar musik latar malah dianggap komersial penuh,” tegas Sujud, Jumat (15/8/2025). Selama ini, lanjut Sujud, banyak hotel dan obyek wisata di Kota Batu yang memilih memutar lagu-lagu gratis dari Pemprov Jatim, termasuk lagu daerah. Pilihan ini diambil agar tidak tersandung aturan royalti. PHRI juga mengungkapkan skema tarif royalti LMKN yang mengacu pada jumlah kamar hotel atau kursi restoran. Misalnya, hotel melati Rp1 juta per tahun. Hotel berbintang dengan jumlah kamar 1–50 Rp2 juta pertahun, 51–100 kamar Rp4 juta, 101–150 kamar Rp6 juta, 151–200 kamar Rp8 juta, lebih dari 200 kamar Rp12 juta. Resort bisa dikenai Rp16 juta. Sedangkan untuk restoran atau kafe, tarifnya Rp 120 ribu per kursi. “Untuk hotel masih masuk. Kalau restoran, cukup memberatkan, belum lagi ditambah pajak. Hampir 50 persen pasti ngedumel. Tapi teman-teman tetap membayar,” ujar Sujud. Menurutnya, dalam PP Nomor 56 Tahun 2021, istilah komersial seharusnya hanya berlaku untuk tempat yang menjadikan lagu sebagai produk utama, seperti diskotek, karaoke, atau konser. “Bukan untuk musik latar di lobby hotel atau restoran,” tambahnya. Sujud juga menyoroti belum selesainya Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) yang diamanatkan PP 56/2021. Sistem ini seharusnya digunakan untuk mendata lagu yang dilindungi hak cipta, agar transparan. “Kalau batas waktu habis dan SILM belum selesai, secara hukum bisa dibatalkan. Padahal sistem ini penting untuk tahu lagu mana saja yang harus bayar royalti,” tuturnya. Sambil menunggu kejelasan aturan, PHRI Batu mengimbau anggotanya tidak memutar lagu atau musik jika belum membayar royalti. Alternatifnya, gunakan karya yang sudah masuk domain publik, penciptanya meninggal lebih dari 70 tahun seperti komposisi Mozart, Beethoven, hingga langgam Wali Lima. Meski kritis, PHRI Batu tetap mengapresiasi perlindungan hak cipta musisi. Mereka menilai, yang perlu dibenahi adalah ketegasan aturan agar tidak ada salah paham antara pelaku usaha, musisi dan pengelola hak cipta. Bahkan, Sujud mendorong Pemkot Batu melalui Dinas Pariwisata membuat lagu sendiri khas Kota Batu yang dikomersialkan. “Nanti lagunya bisa dibagikan kemudian diputar di obyek wisata, penginapan, sampai hotel. Bisa juga bekerja sama dengan musisi lokal. Jadi sekalian promosi pariwisata,” tutupnya. (Ananto Wibowo) Baca Juga: