Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Live Music Kian Langka di Malang, Restoran Ogah Bayar Royalti Tinggi

JATIMTIMES - Polemik pembayaran royalti musik di Kota Malang terus bergulir. Jika hotel berbintang sudah patuh mendaftarkan diri ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), lain halnya dengan sektor restoran dan kafe. Banyak pengusaha kuliner memilih menghentikan live music karena mengeluhkan tarif royalti yang dinilai terlalu mahal. Ketua PHRI Kota Malang, Agoes Basoeki, mengungkapkan bahwa hampir seluruh hotel bintang tiga ke atas sudah tertib membayar royalti. Namun kondisi berbeda terjadi di restoran dan kafe. Baca Juga : Pemkot Malang Bentuk Tim Siber untuk Perkuat Keamanan Data Digital “Hotel-hotel bintang tiga ke atas rata-rata sudah mendaftar dan tertib membayar royalti. Tapi banyak restoran justru menunda bahkan menghentikan live music karena tarif dianggap terlalu tinggi,” ujar Agoes, Sabtu (16/8/2025). Beberapa restoran di kawasan wisata Kayutangan hingga pusat kuliner Kota Malang disebut sudah tak lagi menghadirkan live music. Alasannya, selain tarif memberatkan, sosialisasi aturan dari LMKN dinilai belum maksimal. PHRI Kota Malang berencana melakukan koordinasi dengan DPD hingga DPP PHRI untuk meminta penyesuaian skema tarif. “Bukan menolak, tapi berharap ada penyesuaian sesuai skala usaha. Karena restoran kecil tidak bisa disamakan dengan restoran besar,” tegas Agoes. Mengacu pada data resmi LMKN, tarif royalti restoran berkisar Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bulan untuk usaha kecil, dan bisa mencapai Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan bagi restoran besar dengan live music rutin. Sementara itu, Ketua Apkrindo Kota Malang, Indra Setiyadi, menilai skema ini tidak ideal. Ia menyebut tarif dihitung dari jumlah kursi tidak adil. “Kursi disediakan tidak selalu terisi penuh, dan pelanggan pun tidak selalu memperhatikan musik yang diputar. Musik di kafe hanya pelengkap suasana, bukan komoditas utama,” jelas Indra.  Baca Juga : Dua Penyanyi Rock Indonesia Pilih Bebaskan Nyanyikan Lagu Ciptaannya Menurut Indra, royalti tinggi seharusnya dikenakan untuk pub atau diskotik, karena bisnis mereka menjual musik sebagai daya tarik utama. Sedangkan restoran dan kafe, menurutnya, perlu diberi skema tarif yang lebih realistis. “Kami sarankan tarif disesuaikan dengan kelas restoran atau kafe. Misalnya, bintang lima bisa lebih tinggi daripada bintang dua. Itu lebih adil,” tandas Indra. Dampak kebijakan ini juga mulai dirasakan masyarakat. Sejumlah pengunjung kafe di Malang mengaku kecewa karena suasana kafe kini terasa sepi tanpa musik. “Saya datang ke beberapa kafe, sudah tidak ada musik. Padahal biasanya ada lagu-lagu hits atau live music. Rasanya jadi kurang nyaman nongkrong,” ujar Alfrida, salah satu pengunjung. Ia bahkan lebih memilih pesan minuman secara online dibanding nongkrong di kafe tanpa musik. “Mending ngopi di rumah sambil dengerin musik sesuka hati,” tambahnya.