BANJARMASINPOST.CO.ID- Budi Salim, Ketua BPC Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Banjarmasin menyebut kondisi sekarang sektor perhotelan cukup berat. Trennya menurun dan juga belum ada insentif sama sekali dari pemerintah pusat maupun daerah untuk merangsang di sektor perhotelan dan pariwisata. “Yang ada malah pengurangan karyawan. Kalau diputuskan naik, ya pasti kita efisiensi dengan pengurangan karyawan. Itu yang harus dimengerti dan dipikirkan oleh pemerintah dan DPRD dalam memutuskan,” katanya. “Kalo ekonomi naik, lapangan kerja pasti meningkat. Kalo kondisi sekarang belum ada hilalnya,” pungkas Budi. Baca juga: Buruh Tuntut Kenaikan Upah Minimum Provinsi, Apindo: Berpotensi Tambah Pengangguran Baca juga: Ini Respon Apklindo Kalsel Soal Tuntutan Kenaikan Upah Minimum yang Disuarakan Buruh Sementara persoalan tuntutan kenaikan upah minimum provinsi tahun 2026 sebesar 8,5-10,5 persen bagi Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kalsel, Winardi Sethiono, sulit dipenuhi dan berpotensi menambah pengangguran. “Dalam keadaan sulit ini terjadi kenaikan upah yang cukup signifikan di awal 2025, kenaikan pajak, serta turunnya daya beli masyarakat, sehingga pelaku usaha semaksimal mungkin berusaha untuk melakukan tindakan-tindakan efisiensi agar tidak terlalu banyak PHK yang terjadi di pihak pekerja,” katanya. Kondisi pengusaha serba sulit, karena ekonomi belum mencapai kestabilan, sudah ada lagi tuntutan dari pihak buruh untuk kenaikan upah. “Menurut asumsi saya, sangat berat dilaksanakan bagi para pengusaha. Seandainya tetap dilaksanakan, maka tidak menutup kemungkin akan lebih banyak lagi pabrik-pabrik yang tutup dan tingkat pengangguran semakin tinggi,” tukasnya. Apklindo Kalsel, melalui ketuanya H Dedy Subiantoro, mengatakan masalah kenaikan upah minimum yang diminta buruh bagi pihaknya selaku pelaku usaha jasa TKAD (Tenaga Kerja Alih Daya; istilah lain outsourcing), tidak ada masalah. “Kami institusi penyedia (tenaga kerja) bagi users (pengguna jasa). Sebagai layer pertama, baik itu produsen, distributor dan pemakai jasa TKAD lainnya,” jelasnya. Justru pihaknya menilai jika ada kenaikan maka sangat menguntungkan, karena berpengaruh dengan nilai kontrak, yang pasti secara total juga akan naik dari segi anggarannya. Namun untuk penghapusan outsourcing, dirinya tak sependapat dengan tuntutan buruh. “Mengenai penghentian praktik outsourcing jelas kami tidak sependapat karena di negara-negara maju hal tersebut adalah lumrah. Kenapa demikian? Karena berkaitan dengan macam pekerjaan yang memerlukan skill maupun unskill,” papar Dedy. Biasanya pekerjaan outsourcing adalah pekerjaan yang hanya memerlukan tenaga-tenaga kerja yang unskill atau pekerjaan yang memerlukan skill tidak spesifik. Sementara Buruh di Kalimantan Selatan (Kalsel), tak menggelar aksi unjukrasa sebagaimana di beberapa daerah lainnya. Namun buruh Kalsel tetap akan menyuarakan tuntutan serupa dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama DPRD Kalsel pada Senin (1/9) mendatang. “Kami sudah mendapatkan undangan untuk RDP. Insyaallah 1 September nanti,” kata Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalsel, Zulfikar, Kamis. Meski tak demo, Zulfikar menegaskan bahwa permintaan buruh Kalsel tidak berbeda dengan tuntutan nasional. Mereka meminta kenaikan upah minimum provinsi tahun 2026 sebesar 8,5-10,5 persen dan penghentian praktik outsourcing yang dinilai merugikan pekerja. Sejumlah pihak pun menyampaikan pendapatnya mengenai tuntutan buruh tersebut. (dea/msr)