Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

PHRI Kaltara Nilai Royalti Musik akan Bebani Usaha Hotel dan Restoran

benuanta.co.id, TARAKAN – Rencana penerapan kebijakan royalti musik yang juga berlaku di hotel dan restoran menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha perhotelan di Kalimantan Utara (Kaltara). Ketua Badan Pimpinan Daerah Perhimpunan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) Provinsi Kaltara, Kie Pie, menyebut wacana ini bisa berdampak besar pada keberlangsungan usaha, terutama dalam hal biaya operasional dan pendapatan. Menurutnya, musik merupakan elemen penting dalam menciptakan suasana di hotel maupun restoran. Jika kebijakan ini diterapkan secara terburu-buru, dikhawatirkan para pengusaha akan ragu memutar musik untuk tamu. Padahal, seperti yang pernah disampaikan Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dalam dua bulan ke depan pengusaha tidak perlu khawatir soal putar musik sambil menunggu pembahasan Undang-Undang Hak Cipta dan audit Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). “Untuk sementara musik tetap bisa diputar seperti sedia kala,” ujar Kie Pie, Kamis (28/8/2025). Ia juga menyoroti dalam praktiknya, ada banyak kejanggalan transparansi yang justru dipertontonkan oleh LMKN. Hal ini membuat kalangan pengusaha semakin meragukan sistem pengelolaan royalti. Menurutnya, masalah ini bukan sekadar tentang musik, tetapi juga menyangkut tata kelola kelembagaan dan kejelasan aliran dana yang selama ini belum terbuka. Dirinya juga menyinggung soal alternatif yang bisa dilakukan pengusaha apabila enggan menggunakan musik karena khawatir terbebani royalti. Beberapa daerah di Jakarta, misalnya, ada yang memilih menggunakan suara burung asli untuk menghidupkan suasana. Namun bagi dirinya, pilihan itu bukan solusi yang ideal karena musik tetap menjadi bagian dari identitas hiburan di hotel maupun restoran. Terkait sikap terhadap kebijakan royalti, Kie Pie menilai negara seakan salah kelola dalam mencari sumber pendapatan. Pemerintah yang tengah mengalami defisit, kata dia, justru berupaya menutupinya dengan berbagai pungutan yang membebani masyarakat. “Baik yang bernada royalti maupun pajak, sama-sama menambah beban rakyat,” ungkapnya. Ia menambahkan, pembentukan lembaga-lembaga baru kerap hanya menjadi tempat bagi tim yang berjasa saat pemilihan presiden. Lembaga tersebut kemudian digaji melalui pungutan royalti. “Ini bukan hanya soal musik, tetapi juga bagaimana pemerintah membebani masyarakat dengan pungutan untuk menggaji lembaga yang sebenarnya tidak memberi manfaat langsung,” tegasnya. Kekhawatiran terbesar dari dunia usaha, lanjutnya, adalah dampak ekonomi yang ditimbulkan. Jika pungutan royalti benar-benar diterapkan, hal itu akan menggerus pendapatan usaha hotel dan restoran. Sementara di sisi lain, biaya operasional yang sudah cukup besar akan semakin membengkak. Situasi ini berpotensi menurunkan daya saing usaha sekaligus menghambat geliat perekonomian daerah. Dalam pandangannya, negara seharusnya tidak terus-menerus membebani rakyat dengan berbagai pungutan. Indonesia yang kaya sumber daya alam mestinya mampu mengelola potensi yang dimiliki tanpa harus membebani sektor usaha. Ia bahkan menyarankan agar pemerintah belajar dari Singapura. “Negara kecil tanpa sumber daya alam itu mampu menunjukkan pengelolaan yang efektif. Sementara kita yang kaya sumber daya, justru cenderung salah arah dalam kebijakan,” tuturnya. Kie Pie menegaskan harapannya agar pemerintah lebih bijak dalam merancang aturan. Menurutnya, dunia usaha perhotelan dan restoran membutuhkan kepastian kebijakan yang mendorong iklim usaha sehat, bukan aturan yang justru menambah tekanan. “Jangan sampai aturan ini membuat para pengusaha memilih jalan lain, atau bahkan mengurangi kualitas pelayanan, karena pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat,” pungkasnya. (*) Reporter: Sunny Celine Editor: Yogi Wibawa PODCAST BENUANTA KLIK LINK DI DIBAWAH TERSEDIA VOUCHER