Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

PHRI Soroti Pembatalan HGU di IKN

Kata PHRI soal Batalnya Masa Hak Guna Usaha 190 Tahun di IKN Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan masa hak guna usaha (HGU) hingga 190 tahun di Ibu Kota Nusantara (IKN) dinilai tidak berdampak signifikan bagi pengusaha hotel dan restoran. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi B.S. Sukamdani. “Semua masih mengikuti perkembangan,” kata Hariyadi, Sabtu (15/11/2025). Ia menambahkan bahwa investasi akan dibutuhkan jika IKN sudah ramai. Hariyadi menjelaskan, hotel yang saat ini mulai dibangun di IKN bukan merupakan investasi dari anggota PHRI. Sebelumnya, beberapa anggota memang diminta untuk berinvestasi, namun belum ada yang memastikan ekspansi bisnisnya ke IKN. PHRI juga belum melihat adanya perubahan daya tarik setelah putusan MK. Anggota PHRI juga belum ada yang menanamkan modal di IKN, meskipun sebelumnya ditawarkan HGU 190 tahun. Dampak kepastian hukum juga belum dirasakan oleh anggota PHRI. Hariyadi menambahkan, pengusaha hotel dan restoran tidak mempermasalahkan jika HGU di luar IKN diberikan sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan tersebut adalah jangka waktu maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang satu kali selama 25 tahun, sesuai Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Setelah masa tersebut berakhir, HGU dapat diajukan pembaruan sesuai dengan ketentuan pemerintah. “Kalau di daerah lain tidak ada masalah, sudah berjalan selama ini,” pungkasnya. Sebagai informasi, sebelumnya Pasal 16A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN mengatur bahwa HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 95 tahun dan dapat diperpanjang untuk siklus kedua selama 95 tahun lagi, sehingga total masa penguasaan tanah bisa mencapai 190 tahun. Namun, MK mengabulkan sebagian permohonan dari dua warga asli Dayak dari Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur, dan menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena memberi rentang waktu penguasaan tanah yang terlalu panjang dan berpotensi mengurangi kendali negara atas tanah di wilayah IKN.